Kontemplasi dan Semangkok Mie Instant

Mie Instant dan Panada di antara kontemplasi seorang Chahaya. F C.O.S/Catatan Traveler


AKU berbaring. Satu pikiran dengan pikiran lainnya bergelut. Menatap layar televisi kosong yang tergantung di hadapan. Di bawah televisi itu ada tiga tingkat rak buku. Bukan hanya buku saja tertata di sana, tapi aneka pajangan seperti patung mini Josep, Bunda Maria, dan bayi kudus Yesus bersanding dengan aneka kulit kerang dan karang yang kukumpulkan dari berbagai negara dan kota di Indonesia. Ada juga boneka, pohon natal mini, dan beberapa tumbler kopi dari brand kenamaan yang belakangan dihujat oleh beberapa kalangan karena dianggap mendukung Israel. Semuanya tertata rapi di rak itu.

 

Kembali fokus ke pikiran. Dari sekian banyak yang berpacu di sana, ada salah satu yang belakangan mengisi otakku menjadi bahan pikiran. Setiap hari aku bergulat dengan pikiran itu.

 

Aku berpikir keras tentang itu. Kontemplasi. Andai ini, Andai itu. Coba begini, coba begitu. Mengandalkan pikiranku. "Tuhan, kalau hidupku tidak berguna lagi, panggil saja aku. Apa gunanya hidup kalau seperti ini terus?" ucapku tanpa sadar dan lancar.

 

Aku menjauhkan kedua ponsel dari jangkauan. Mengabaikan seluruh pesan dan email yang masuk. Tidak membaca bahkan membalasnya. Memilih mematikan notifikasi. Email penting dan pesan yang masuk, saya baru membukanya ketika malam menjelang. Membalasnya satu per satu. Sesuai porsinya. Pesan basa-basi, tak kubalas. Aku tak merasa bersalah tentang itu. Akan ada momen kamu membutuhkan lebih banyak waktu untukmu sendiri dibanding membagikannya kepada orang lain, khususnya saat tubuh dan pikiranmu membutuhkan perhatian penuh.

 

Aku lapar. Aku duduk. Berdiri. Bergerak menuju kulkas. Mengambil tiga biji Panada (gorengan khas Manado berisi cakalang pedas suwir), lalu memasukkan ke airfryer.  Memutar suhu 180 derajat Celcius, memilih waktu 10 menit untuk menggorengnya. Dadaku mendadak sesak. "What's wrong with me?"

 

Aku berhenti. Duduk. Diam. Dalam diamku, aku berdoa. "Tuhan tolong aku," pintaku. Every tear, He knows the most. Aku berdiri kembali. Memilih pergi ke dapur mencuci piring. Sebelum ke sana, aku menghubungkan ear bluetooth ke ponselku dan mengenakannya. Aku memutar lagu rohani dari daftar folder putar Spotifyku dan mulai mencuci piring.

 

Entah di lagu keberapa, tiba-tiba seolah aku mendengar pernyataan "For I will restore and heal you. I lift you up and make you new. I will hold you until the end because My mercy flow so endless. Be still my child. Be strong and believe Me..."

 

Aku mematikan keran air. Berhenti sejenak. Aku menangis dan seketika hatiku lega. Aku tahu ada yang menjagaku. Aku tahu, dalam tinggal tenang terletak kekuatanku. Dan kekuatanku itu berasal dari DIA. Juruselamatku yang hidup, Yesus Kristus, Bapa dan Rajaku. Seketika aku meminta maaf atas pernyataanku sebelumnya yang menyerah akan hidup.

 

Usai mencuci piring itu, aku merasa damai sejahtera dan suka cita. Di kondisi apa pun dalam hidup, ternyata Tuhan sangat dekat dengan kita. Asal kita berseru padaNya, Dia mendengarkan dan menjawab. Jeli mendengar suaraNya saja.

 

Aku semakin lapar.

 

Ini hari ke-47 aku melaksanakan puasa daging. Kok lebih dari 40 hari? Ya, karena aku memulainya sejak 1 Maret 2025 lalu, dan akan berakhir pada Sabtu Suci, 19 April 2025 atau sehari sebelum Minggu Paskah. Besok aku kembali puasa seharian penuh di Jumat Agung. Memaknai pengorbanan Yesus yang mati disiksa dan disalibkan demi aku umat yang berdosa ini.

 

Malam ini aku berniat makan panada, tapi aku teringat masih ada stok mie instant satu lagi. Aku memutuskan memasaknya. Mengambil tomat, sayur sawi hijau, enoki, dan telur dari kulkas. Menuang air satu gelas dari galon. Lalu mengambil tiga biji cabai rawit dari pokoknya.

 

Mengambil talenan. Mulai menguliti bawang putih, bawang merah. Mencucinya bersamaan dengan cabai dan tomat. Mengiris dan memotong-motongnya, lalu menumisnya ke wajan yang sudah aku beri minyak kelapa sedikit. Menambahkan air, memasukkan telur, dan memasukkan mie setelah kuahnya mendidih. Mie instant itu pun tersaji dan siap kusantap bersama panada di hadapan. (*)

 

Aku membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada yang lain. Aku dipatahkan saat semua baik-baik saja seperti tanah liat kering yang disiram, dilunakkan, lalu dibentuk. Ternyata itu membentukku lebih baik lagi, menjadi bejana yang indah di hadapanNya. Aku tidak membutuhkan pengakuan dunia, asal Tuhan mengakuiku sebagai anakNya. Aku tidak membutuhkan jadwal dunia, karena waktu Tuhan selalu terbaik bagiku. Masalahku tidak menentukan masa depanku dan nasibku, biar Tuhan yang berperang atas itu. Dalam tinggal tenang, terletak kekuatanku.



AKSARA DIPA CHAHAYA

(Kontemplasi dan Semangkok Mie Instant)

17 April 2025

 

Post a Comment

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler