Bika Ambon, Konten Kreator dan Etika

BIKA AMBON. Penganan dan oleh-oleh khas Medan. Pusat penjualan penganan ini ada di Jalan Majapahit, Medan, Sumatera Utara. F DetikFood


SEMINGGU ini, media sosial viral review bika Ambon. Sajian kuliner khas Medan yang sejak kecil sudah akrab bagiku. Nah, review dari para konten kreator itu yang 'katanya' menemukan kutu dan serangga dari penganan bika Ambon itu membuat salah satu pembuatnya geram. Marah. Dari yang tadinya cuma menjatuhkan tiga sampai lima kaleng mentega kosong, menjadi menendang puluhan kaleng merah nan mahal itu.

 

Tentu saja, awalnya saya tertawa. Pemilik jargon "Buat yang mau-mau saja" itu marah besar. Bahkan dalam salah satu tayangan Podcast milik Melaney Ricardo, dia mengatakan tidak mau minta maaf atas berbagai temuan-temuan itu. "Buat apa saya minta maaf atas hal yang tidak kulakukan" ujarnya.

 

Dia pun mengungkapkan hasil review para konten kreator itu adalah sesat dan mau menjatuhkan usahanya. "Kalau mau review, reviewlah yang fair. Jangan menjatuhkan. Review bilang enak tapi dibayar, buat apa? Mending apa adanya. Produk saya ini buat hanya yang mau-mau saja," ungkapnya.


Cik Mehong, dua tahun belakangan memang mulai dikenal. Dia mereview sendiri jualannya. Harganya? mahal dibanding produk serupa. Ada alasannya dia menetapkan harga segitu. seperti produk sayur atau buah misalnya, dia mendatangkan langsung dari sumbernya. Dari petaninya. Sebelum dia jual, dia akan review. Dia akan bilang enak kalau enak, mentah kalau mentah, tidak enak kalau memang tidak enak dengan konklusi "Buat yang mau-mau saja". Ya memang benar, pelanggan yang mau membeli saja kan?

 

Sama seperti yang kulakukan malam ini. Karena gabut, sebenarnya tidak lapar tapi ingin memakan sesuatu yang gurih tapi malas memasak, saya putuskan pergi membeli makan ke luar kompleks. Seporsi mie goreng. Dibeli dari abang-abang gerobak yang baru saja berjualan di tempat jajanan malam itu. Tampilan mie gorengnya sangat sederhana. Karena saya minta pedas, maka tampilannya sangat merah cabai, dengan sejumput suiran ayam, cabai acar, potongan timun dan tomat, dan juga kerupuk yang terpisah.

 

Tidak ada telur. Maka sesampai di rumah, saya memutuskan menggoreng dua telur. Mata sapi dengan sedikit mentega. Menyajikannya ke piring. Doa makan, lalu mulai memakannya. Suapan pertama. Asin dan kurang wangi. Mengimbangi rasa dengan memakan telur mata sapi dan timun, tetap saja asinnya tidak hilang.

 

Saya menghabiskan timun, tomat, dan telur. Tapi tidak dengan mienya. Suapan ketiga, saya berhenti. Sisanya? Maaf, terbuang.  "Apa yang saya harapkan dari Rp 14 ribu seporsi?" pikiran itu terlintas. Apa saya akan memprotes abang-abang gerobaknya? Tidak. Lagian saya yang mau membelinya dengan kesadaran penuh atas rasa penasaran. Istilahnya, enak tak enak, risiko tanggung sendiri. Itu pengalaman perdanaku membeli di sana.

 

Kembali, soal rasa, masing-masing orang punya selera, bukan?


Hari ini tidak banyak yang kulakukan. Setelah bekerja setengah hari, lantas memutuskan pergi makan siang ke lapo (warung makan khas Batak). Ikan mujahir tombur atau Tilapia panggang disajikan dengan sambal rias andaliman, menjadi menu pilihanku. Itu menjadi menu termahal di restoran itu, tapi setiap menu itu ada, saya selalu membelinya. Tak pernah menyesal dan komplain karena rasa dan penyajiannya sebanding.

 

Ada lagi, sepulang jogging malam 1 Februari 2025 lalu, sebelum pulang ke rumah, saya memutuskan membeli makan malam dulu di kawasan Penuin. Ayam tahu sambal balado. Saya suka balado di sana, wangi dan gurih khas Padang. Mengapa saya makan berat malam itu? Karena saya tidak makan siang. Hanya sarapan pagi, dua telur mata sapi saja. Jadi, malam tidak ada salahnya makan.

 

Duduk menunggu giliran. Dari tempat duduk, saya bisa melihat jelas para pekerja dan tukang masak melakukan bagiannya. Tibalah pesanan saya mau dibuat. Dada ayam dipotong, tahu juga dipotong-potong menjadi kecil, lalu meletakkannya di piring hijau. Saat hendak mengangkat ke penggorengan, beberapa potong tahu dan daging jatuh. Pekerjanya memungutinya, lantas menggabungkannya kembali ke piring itu. Tidak membuangnya.

 

Saya protes. "Bang, itu sudah jatuh kenapa diambil lagi? kenapa nggak dibuang?". Pekerja yang mencatat pesanan yang mendengarku lalu mendatangi pekerja yang khusus mengambil menu. Berdiskusi sebentar. Si pengambil menu itu melihatku sekilas. Si abang pencatat menu kembali mendatangiku " Tidak apa mba, cuma sebentar saja jatuhnya tadi". "Iya tapi itu jatuhnya ke situ lho, tanah hitam, lihat itu ada sampah plastik dan becek," ujarku.

 

Si pekerja itu hanya diam. Tak membalas lagi protesku. "Bang, ganti deh. Jangan yang itu kalau dibungkus buatku" pintaku lagi. Lantas otakku memperingatkan "Lha meski pun diganti, tetap saja itu yang jatuh tadi sudah masuk penggorengan dan pasti punyaku juga akan masuk ke penggorengan yang sama". Saya berdiri, lalu ngomong "Bang, maaf saya batalkan pesanan" lantas beranjak pergi.

Apakah saya akan kembali ke sana lagi? Tidak. Benar, menu ayam tahu balado itu saya suka beli di sana. Tapi kalau mereka tidak menjaga kebersihan, banyak sampah di selokan kecil, makanan jatuh dipungut lagi disajikan ke konsumen? Apakah itu layak? Berarti mereka tidak menjaga kebersihan dan kehigienisan makanan. Aku bersyukur melihatnya langsung dan menegur mereka.

 

Konsumen menegur untuk perbaikan tapi tidak diterima, oke. Itu tidak menjadi urusanku lagi. Lebih baik angkat kaki dan jangan pernah ke situ lagi. Satu pelanggannya hilang. Saya tidak perlu membagikan ke seluruh dunia melalui media sosial bahwa warung makan ini tidak bersih, lalu mengajak orang-orang tidak ke sana. Saya punya hati. Itu bisnis mereka, sumber penghasilan mereka untuk hidup. Bukan cuma pemiliknya, ada pekerja yang pemiliknya perlu digaji. Etika dan belas kasihan dibutuhkan dalam berbagai hal.

 

Ya, etika dan belas kasihan. Ini yang sangat minim ditemukan dalam konten-konten yang hadir di media sosial saat ini. Banyak konten mengesampingkan etika dan lebih mengutamakan viral dulu, banyak orang yang melihat, mereview ulang, lantas pundi-pundi masuk dari adsense.

 

Saya tidak menyalahkan para konten kreator yang mereview itu. saya hanya sedih, kemana etika dan belas kasihan yang mereka punya? Tidak panjang berpikirkah mereka bahwa apa yang keluar dari mulut mereka bisa mematikan usaha orang lain yang dibangun dengan susah payah? Ada berapa pekerjanya yang terdampak? BUKAN YANG MASUK KE DALAM MULUT YANG MENAJISKAN ORANG, MELAINKAN YANG KELUAR DARI MULUT. ITULAH YANG MENAJISKAN ORANG.

 

Tapikan Chay itulah fungsi media sosial sekarang. Supaya para pengusaha kuliner lebih jeli dan fokus menjaga kebersihan dan kehigienisan makanan mereka. Ya benar. Sosial media ibarat pedang bermata dua. Tapi kuasailah jarimu, pikiranmu, jangan hanya karena konten "Ini pasti viral" lantas memostingnya tanpa memikirkan konsekuensinya. Jangan hanya karena konten, empatimu hilang atas korban kecelakaan. Jangan hanya karena konten, simpatimu hilang atas ibu yang meraung-raung kehilangan anaknya di pasar. Tidak semua hal dijadikan konten. Berkhidmatlah dan bijaklah melihat segala sesuatu di era digital saat ini. Just IMHO. (*)

 

All love and God Bless,

C.O.S 

 

2 comments :

  1. Dulu saat pertama kali dibawakan teman dari Medan sempat bingung, kok namanya Bika Ambon. Rupanya ada sejarahnya

    ReplyDelete

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler