Monday, September 09, 2024

Melihat Tiong Bahru, Kota Tua di Singapura

PASAR Tiong Bahru di Singapura. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler


Singapura tidak melulu tentang pusat perbelanjaan modern Orchard Road, kawasan downtown Merlion, atau pasar Bugis yang terkenal akan keramaian pengunjung karena barang murahnya. Lebih dari itu. Negara kota yang hanya berjarak 45 menit dari Batam ini juga punya banyak destinasi menarik lainnya yang wajib dikunjungi. Salah satunya Tiong Bahru. Kota tua yang terkenal dengan bangunan lama dan kulinernya.


--------------

 

CATATAN TRAVELER - Proses imigrasi sudah selesai. Tidak perlu mengantri lama. Pagi itu, Harbour Front tidak terlalu ramai. Kapal jadwal perdana dari Batamcenter menjadi pilihanku. Ditambah kebijakan negara itu, dimana tak perlu chop paspor dan tak perlu bertatap muka dengan petugas imigrasi lagi. Saya cukup mengarahkan paspor elektronikku ke mesin pemindai, pintu otomatis akan langsung terbuka dan langsung meninggalkan pelabuhan.

 

Dari salah satu pelabuhan tersibuk di Singapura itu, saya turun ke stasiun MRT di bawah tanah. Memilih jalur ungu (North East Line), menaiki transportasi publik modern khas negeri Singa itu, saya menuju Outram Park. Dari sana, saya interchange ke jalur hijau ( East West Line) tujuan Tuas Link. Saya akan berhenti di Tiong Bahru. Jaraknya hanya satu stasiun dari Outram Park. Ya, pagi itu, saya memilih mengunjungi Tiong Bahru.


SALAH satu sudut District Tiong Bahru (Don't focus mama taco di kaki yang terbentuk akibat terkena knalpot panas motor. haha) F DWS/personal doc.
PEMUKIMAN warga dengan halaman rumput hiaat yang asri. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.


Mengapa Tiong Bahru? Karena itu adalah salah satu kota tua di Singapura yang bangunan-bangunan lamanya dilestarikan. Sebenarnya ada dua kemungkinan tujuan perjalananku hari itu. Ke Tiong Bahru dan ke Kampung Bangkok. Satu-satunya desa yang masih tersisa. Namun, melihat cuaca yang sangat panas padahal belum sampai di atas ubun-ubun, saya urung. Lebih memilih Tiong Bahru. Lagian saya belum sarapan dari Batam.

 

Dari stasiun Tiong Bahru, memilih keluar dari Jalan Membina. Tujuanku ke pasar Tiong Bahru di Seng Poh Road. Jaraknya dari stasiun sekitar satu kilometer. Saya jalan kaki. Sekalian ingin menikmati suasana kota tua yang sebagian besar bentuk bangunannya sama dengan tangga melingkar dan dominan cat putih.

 

Di perjalanan ke pasar, saya menemukan hal unik yang berbanding terbalik dari citra Singapura sebagai salah satu negara kota modern di dunia. Apa itu? Bangunan kantor pos lama. Yang luasnya hanya sebesar kios atau dapur. Sampai sekarang masih berfungsi. Terselip diantara rumah penduduk dengan halaman rumput hijau dan pagar tanaman. Menarik.


F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.


Berjalan sekitar 150 meter, menyeberang ke kanan, lalu memasuki jalan pintas dari pekarangan rumah warga sekitar 80 meter. Menyeberang. Di situlah Pasar Tiong Bahru berada.

 

Bagi kalangan turis Indonesia, boleh dibilang pasar ini adalah permata tersembunyi. Mengapa? Ada ratusan kios makanan dan minuman mulai dari jajanan, minuman, hingga menu internasional, peranakan, serta menu khas Singapura dijual di sana. Mulai dari wagyu premium asal Australia hingga carrot cake yang gurih khas kaki lima bisa ditemukan di sini. Makanannya terkenal murah dan lezat. Bagi pengunjung dengan anggaran yang terbatas, bisa mengunjungi pasar ini.


SUASANA food hawker/pujasera di gantai dua Pasar Tiong Bahru. F Chahaya Simanjuntak/Catatan Traveler
SUDUT pasar Tiong Bahru. Saya duduk naaman di sini arena tidak terlalu crowded. F Chahaya Simanjuntak/Catatan Traveler

Bangunan pasar ini terletak di jantung Distrik Tiong Bahru. Bangunan depannya berbentuk melingkar. Dari pintu utama, akan disuguhkan seorang pengemis tua yang bermain alat musik dengan hewan piaraan anjing dan ayam di sekitarnya. Paman tua itu eksentrik. Duduk di kursi roda, di dekatnya ada payung warna-warni. Pengunjung yang baru pertama kali ke sana, akan berhenti sementara memperhatikan aksinya, lalu berlalu menuju eskalator ke lantai dua. Di sanalah pusat kuliner berada.

 

Di lantai dua pasar ini, pusat kuliner ala pujasera berada. Ratusan stal makanan dan minuman dengan ribuan kursi dipadati pengunjung pagi itu. Rumus yang saya pakai ketika kulineran ke tempat baru adalah: kalau ada stand makanan yang pengunjungnya ramai, antri sampai mengular, berarti dipastikan makanan itu enak. Namun, ada banyak stand makanan yang pengunjungnya antri. Mulai dari nasi ayam Hainam, mie bebek, hingga carrot cake. Saya berkeliling dulu.

 

Ramainya pasar itu sedikit mengganggu konsetrasiku. Saya memilih masuk ke bagian dalam pasar. Namun ternyata, di sana juga ramai. Hampir tidak ada meja yang kosong.  Beruntung ada pengunjung yang meninggalkan mejanya usai makan. Saya langsung bergegas ke sana. Meletakkan tas dan duduk. Di sebelahku, puluhan orang antri untuk mendapatkan mie bebek. Yang antri itu hampir semua kalangan. Dari mulai anak remaja, bibi yang sudah tua, paman yang sudah bungkuk hingga perempuan yang datang dengan pakaian fashionable dengan tas bermerek seharga puluhan juta rupiah. Semuanya antri. Tertib.

 

Singapura negara yang aman. Meski pun ramai, barang yang kamu tinggal di mejamu tidak akan hilang. Saya meninggalkan tas di bawah meja. Lalu berjalan ke stand minuman yang tidak terlalu antri. Saya membeli susu soya seharga tiga dolar. Dari sana, saya memperhatikan carrot cake yang antriannya sudah mulai longgar. Stand itu dimiliki pasangan suami istri yang sudah tua.

DAFTAR menu. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.

 

CARROT cake (6,5/10). I liked it but not as much as in Indonesia. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.

Ketika tiba giliranku, saya memesan carrot cake seharga 6,5 dolar. Paman itu menggorengnya dengan sangat cekatan. Dia terlihat terampil. Ya terang saja, stand itu sudah berdiri dari 40 tahun lalu. Saya meminta dimasak agak pedas dan banyak bawang prei. Begitu pesananku selesai, saya kembali ke meja. Pagi itu, carrot cake dan susu kedelai menjadi menu sarapanku.


TAMAN Pasar Tiong Bahru. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.

Saya tidak langsung beranjak begitu selesai sarapan. Memperhatikan sekeliling. Di tengah bangunan ini ada taman hijau. Dindingnya terlukis mural burung raksasa yang sangat colorful. Dan itu menjadi ciri khas Pasar Tiong Bahru. 

MURAL. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.

MURAL. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.


Meninggalkan pasar, saat hendak menyeberang ke kawasan perumahan penduduk di sebelah kanan, tiba-tiba mobil Ferarri merah berhenti. Parkir di pinggir jalan. Pengendaranya memasuki pasar Tiong Bahru. Ya, pasar ini milik semua kalangan di Singapura. Bukan hanya warga Singapura saja, tapi juga warga jetset, ekspatriat hingga pengunjung atau turis. Di sini tidak berlaku dualisme harga untuk lokal atau pun pengunjung seperti di kawasan food hawker Changi. Semuanya satu harga.


F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler

F Personal Doc.

Di sebelah pasar ini, terletak pemukiman warga. Setiap warga Singapura yang memiliki rumah tapak, meski pun bangunan lama, dipastikan merupakan warga yang berada. Pemukiman ini bentuk dan catnya senada. Taman besar dengan jalan di bagian tengah, dilengkapi tempat duduk semen dan aneka pohon dan bunga kamboja di masing-masing rumah. Banyak kalangan ekspatriat tinggal di sini. Di antara bangunan ini, ada juga beragam cafe, termasuk Tiong Bahru Bakery yang terkenal itu, Prive, Toast Box, dan lainnya.

KAWASAN pertigaan. F Personal doc.


Distrik Tiong Bahru masih mempertahankan bentuk desain lama. Rumah di pertigaan masih berbentuk lingkaran sebagaimana awal dibangun. Di dinding rumah warga itu, ada beberapa mural yang menggambarkan keseharian warga peranakan seperti minum kopi dan roti bakar kaya di pagi hari, atau sekedar berkumpul melihat burung peliharaan. Sesuatu yang sudah jarang terlihat di Singapura modern saat ini. Kalau ingin melihat Singapura zaman dulu secara keseluruhan, pergilah ke Tiong Bahru.


NASI kari (100/10). I loved it. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.


Perjalananku berlanjut ke Jalan Besar di Distrik Serangoon. Di sana, sebelum ke penginapan, saya terlebih dahulu menikmati seporsi nasi kari seharga 8 dolar. (*)


Sesekali, kunjungilah tempat tak biasa. Selami kawasannya. Ada serpihan hidupmu di sana.

No comments:

Post a Comment