Menapak Pintu Surga Pura Lempuyang

Langit masih gelap ketika kami menuju Pura Penataran Agung Lempuyang di Karangasem, Bali. Pura ini terkenal. Aku tak ingin ketinggalan momen menyaksikan arunika memendarkan sinar sempurnanya dari horizon timur sambil menapak 'pintu surga' di Kecamatan Tribuana, di Desa Adat Purwayu itu.

PEMANDANGAN dari Pura Luhur Lempuyang, salah satu pura tertua di Bali dari puncak gapura paduraksa di Bukit Bisbis. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/catatan traveler

===================

    CATATAN TRAVELER - Deru kipas angin dan bau atap kayu membangunkanku. Masih duduk refleksi pagi di pinggir tempat tidur, aku mendengar mbok Kadek, pemilik rumah tempatku menginap, menghidupkan sepeda motor dan pergi. Aku keluar. Langsung menuju ke kamar mandi, di sebelah kiri bagian belakang rumah.

Pose yoga di pintu gerbang Candi Bentar, Pura Penataran Agung. F Dokumen pribadi COS

    Desa Tumbu Kelod subuh itu sangat dingin. Namun, aku memutuskan mandi karena satu hari itu akan mengunjungi dua tempat di pulau yang berbeda. Pura Lempuyang di Karangasem. Lalu kemudian melanjutkan perjalan ke Nusa Penida. Jarak yang Sangat jauh satu sama lain.


BACA JUGA:
Menginap di Rumah Warga di Pedesaan Bali


    Sehabis mandi, di teras depan, mbok Kadek sudah menyajikan teh manis panas dan aneka kue basah. Ternyata mbok bangun cepat untuk membelikan sarapan. “Sarapan dulu sebelum berangkat ke pure (Pura),” ujarnya dengan suara lembut.

    Lantas, aku membangunkan adikku Tius, yang tidur di teras rumah. Bagi warga Bali, teras rumah itu ibarat ruang keluarga. Dalam satu pekarangan, lumrah tiga bangunan yang berbeda di sana. Selalu ada teras dan juga pendopo untuk berkumpul. Bahkan tak jarang tv dan beberapa perabotan diletakkan di ruang terbuka itu.

    Terang belum datang saat aku dan Tius pamit ke mbok Kadek. Suaminya, pak Yan dan anak-anaknya masih tidur. Jadi, kami minta ke mbok supaya menyampaikan salam perpisahan. "Jangan lupa, pintu ini selalu terbuka untuk kalian. Singgahlah kalau ke Bali lagi," ujar mbok sambil memelukku. Ada kehangatan seperti keluarga sendiri terasa di sana. ( Pengalamanku tidur di rumah mbok Kadek BACA DI SINI )

    Pura Lempuyang menjadi tujuan perdana hari itu. Jarak dari Tumbu Kelod ke pura ini sekitar 16,7 kilometer atau sekitar 34 menit berkendara. Medan menanjak kami lalui karena lokasinya berada di ketinggian 1.175 meter di atas permukaan laut.

    Perjalanan ke sini, aku tidak menggunakan paket wisata. Adikku Tius menjadi pemandu gratisku selama di sana.

    Lempuyang merupakan salah satu objek wisata yang terkenal dan selalu dipadati turis dari berbagai mancanegara. Aku si introvert 56 persen ini sangat menghindari keramaian. Entah kenapa, energiku selalu terkuras di tempat yang hiruk pikuk. Jadi aku memutuskan datang pagi-pagi sekali, supaya suasananya lebih tenang dan berkesempatan melihat matahari terbit. Jarum jam menunjukkan pukul 06.08 saat kami tiba di sana itu.

PARKIRAN shuttle di pagi hari. Pengunjung yang ke Pura Lempuyang wajib berhenti di sini, selanjutnya akan dibawa menggunakan shuttle ke atas. Biaya Rp 50 ribu per orang. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/Catatan Traveler.

    Parkiran masih sangat sepi. Beberapa shuttle masih banyak terparkir. Turun dari mobil, kami langsung membeli tiket. Rp 100 ribu untuk dua orang. Itu tiket PP menggunakan shuttle ke puncak Lempuyang dan turun ke parkiran nantinya. Karena hari masih pagi, di shuttle itu, hanya aku dan Tius penumpangnya.

    Tiba di kawasan pura, membeli tiket lagi seharga Rp 30 ribu per orang. Tiket ini sudah termasuk sarung dan pengikatnya yang wajib dipakai saat memasuki kawasan pura, serta nomor antrian untuk berfoto. Aku menjadi pengunjung pertama hari itu. Terlihat dari nomor antrian foto yang bertuliskan 'satu'.

    Dari lokasi pembelian tiket, kami harus berjalan lagi sekitar 150 meter ke arah kanan perbukitan. Jalannya menanjak. Pura terdapat di sebelah kiri jalan. Ada tiga pintu. Satu tangga untuk masuk, satu tangga keluar, dan satu tangga lagi yang hanya bisa dilewati umat Hindu yang mau beribadah di sana.

    Menapaki tangga masuk, kami langsung dihadapkan dengan kawasan pura Penataran Agung. Di kiri-kanannya ada empat pendopo atau balai pesanekan. Di sebelah kiri pintu masuk itulah, pengunjung wajib antri untuk berfoto di pintu surga pura ini.

SALAH satu tangga menuju gapura paduraksa. F Dokumen pribadi COS

    Pura Lempuyang terdiri dari tujuh pura dalam satu kawasan yang luas. Desainnya sangat indah mengikuti kontur perbukitan dengan pintu gerbang dan tangga-tangga yang meski sudah termakan usia, masih tetap terlihat megah dan indah. Seolah menyentuh langit karena puncaknya yang runcing.

    Ada pun lima dari tujuh pura besar Lempuyang ini yakni Karang Semadi, Madya, Penataran Agung, Beji, dan pura Luhur. Waktu yang terbatas, aku hanya mengeksplorasi Pura Penataran Agung dan Pura Madya di bawah pintu fenomenal Penataran Agung.

Anjing asli Indonesia, ras Kintamani. Such a nice dog. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/catatan traveler

    Saat aku tiba itu, meski nomor antrian foto nomor satu, tapi ternyata sudah ada dua pengunjung. Pasangan dari Eropa. Mereka tengah berfoto. Menunggu mereka, aku bermain dengan anjing yang kutemui di sana. Anjingnya sangat penurut dan manis, juga bersih. Oh ya, di Bali ada ras anjing asli Indonesia, yakni anjing Kintamani (Kintamani-dog). Anjing ini sangat friendly. Aku menyukainya. Setelahnya, aku pun mengeksplorasi gapura paduraksa. Gapura ini terdiri dari tiga candi, yang merupakan pintu masuk ke bagian tengah pura penataran Agung. Ada sekitar 40 anak tangga menuju gapura puncak. Dari puncak, Gunung Agung yang megah di kejauhan dengan kawasan Lempuyang yang fenomenal menciptakan pemandangan dramatis nan indah.

    Tibalah giliranku untuk pengambilan foto. Saat turun dari tangga gapura, rombongan turis dari Malaysia dan Jerman memasuki kawasan pura suci itu. Mereka ada yang langsung mengeksplorasi kawasan mengisi waktu antri.

POSE di pintu surga Pura Lempuyang dengan efek air dari pantulan kaca dan latar Gunung Agung. F Dokumen Pribadi COS

    Tim foto dari Pura Lempuyang langsung mengarahkanku ke pintu gerbang Candi Bentar, penghubung pura Penataran Agung dan Pura Madya. Ini spot foto favorit yang terkenal itu. Berdiri di sana, berpose sesuai keinginan tapi harus sopan, lalu tim foto memasang kaca untuk efek air, lantas memotretku. Hasilnya? Indah dan estetik dengan 360 derajat efek bayangan. 

    Aku cukup beruntung pagi itu. Saat foto, cuaca sangat cerah. Latar belakang panorama gunung Agung dan burung di udara jelas terlihat, seolah menapak pintu surga nan megah dan indah dari sana.

    Tim foto pura dan juga Tius menyebutkan, tidak banyak yang dapat kesempatan berfoto dengan latar belakang gunung Agung terlihat jelas setiap harinya. "Kamu beruntung. Biasanya latarnya hanya awan atau kabut putih saja. Karena inikan kita di dataran tinggi. Bukit Bisbis," ujar Tius.

    Itulah kelebihannya kalau datang di pagi hari. Selain suasana yang tenang dan sepi, juga bisa menikmati hangat rona arunika, dan pemandangan gunung Agung yang memukau. Tidak perlu menunggu lama antrian, dan yang jelas bebas mengeksplorasi kawasan ini.

    Bagi yang pernah ke sini, foto dengan tampilan air jernih dengan gerbang pura Lempuyang itu adalah efek kaca saat difoto. Aslinya, tidak ada kolam di sana, hanya berlantaikan batu yang tersusun rapi dan bersih.

Adikku Tius dengan latar belakang Gunung Agung dan Pura Madya. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/catatan traveler.


My foster brother, Tius di Pura Madya Lempuyang. F Chahaya Oktiberto Simanjuntak/catatan traveler

    Usai sesi foto, aku dan adikku Tius turun mengeksplorasi Pura Madya. Kawasan ini tak kalah indah. Suasana pagi itu cukup dramatis dan membuat takjub.

    Aku sangat menyukai cara Bali dalam mengelola dan melestarikan nilai spiritualitas budayanya. Selain menjaga tempat tetap sakral dan menjalankan ritual suci umat Hindu, mereka juga memperkenalkannya sebagai bukti bahwa agama, budaya dan tradisi sosial Bali itu unik dan welas asih kepada alam dan mahluk hidup, Ini dibuktikan dengan arsitektur pura yang mengesankan.

Bagi pecinta alam, Salah satu pura tetra di Bali ini merupakan jalur trekking favorit.


Pantangan Memasuki Pura Lempuyang

Catatan traveler di kawasan Pura Madya. F Dokumen pribadi COS

    Memasuki pura ini, tidak sembarang orang yang bisa masuk. Ada pantangan yang harus diikuti sesuai ajaran Hindu Bali. Diantaranya:

  1. Tidak boleh berkata kasar saat perjalanan memasuki kawasan pura.
  2. Pengunjung yang baru saja berduka karena keluarga meninggal.
  3. Perempuan yang tengah haid dan ibu menyusui.
  4. Membawa atau mengonsumsi daging babi di lokasi pura.

    Turis atau pengunjung yang baik akan menaati peraturan ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Membaur dan menyatulah dengan warga lokal, dengan begitu kamu dapat menikmati ruh dari perjalanan itu sendiri.  (*)

Turun dari Pura Lempuyang. Bersiap melanjutkan perjalanan ke Klungkung, di Pulau Nusa Penida. 

Perjalanan adalah pengalaman tak ternilai yang dihidupkan oleh kenangan. Menjadi sejarah saat dituliskan. Menikmati nilai luhur masa lalu di masa kini menjadi kebahagiaan tersendiri, dimana peradaban punya fase-fasenya sendiri. 
All love and God bless, COS

Post a Comment

Designed by catatan traveler | Distributed by catatan traveler