Adik perempuan penjual kulkas. Saya lupa namanya. (Picture taken used by Sony Camera) |
SAYA baru saja turun dari tuktuk yang dikendarai Yan di pekarangan Candi Pumi Srah Srang di Banteay Kdei, Provinsi Takeo. Entah dari mana, seorang anak kecil itu mendekatiku. Kuperkirakan usianya tak lebih dari tujuh tahun.
BACA JUGA:
Jelajah Candi-Candi Angkor Wat
Tubuhnya kecil, ceking. Rambutnya kecoklatan, kulitnya juga. Mungkin akibat terbakar sinar matahari. Anak kecil itu membawa tampah berisi tempelan kulkas, gantungan kunci, dan aneka jenis stiker. Dia mendekatiku dan menawarkan barang jualannya padaku.
"Magnet freezer miss. five dollar, three (Three for five dollar)," ujarnya sambil menunjukkan tiga jarinya.
---
Hari itu, Candi Pumi Srah Srang menjadi perhentian terakhirku selama sehari menjelajah candi-candi di Taman Candi peninggalan purbakala, Angkor Wat di Negeri Khmer itu.
Para penunggu swastamita/sunset/matahari terbenam di puncak Srah Srang. Eh zonk. hahaha |
Dari sana, saya ingin menyaksikan proses matahari terbenam. Katanya, proses swastamita di ufuk barat yang mencipta garis cakrawala megah dari puncak candi itu spektakuler. Sebagai penikmat senja, jelas saja saya ingin menyaksikannya.
Saya pun memutuskan menghabiskan waktu hingga matahari terbenam, sebelum menuju penginapan di kawasan Night Market di pusat kota Siem Reap.
Sembari pamit, saya menitipkan ransel besarku kepada Yan, pemilik tuktuk yang saya rental sehari penuh mengelilingi Angkor Wat. Dia akan menjaganya di atas tuktuknya.
"Saya parkir di bawah pohon besar, pinggir danau ya. Lihat, saya nanti di sana," ujarnya sambil menunjuk tempat di seberang kawasan candi.
---
Di kawasan candi itu, sekitar 100 meter dari bangunan candi, anak kecil itu terus memepetku. Saya memperhatikan wajahnya yang berpeluh dengan sisa ingus kering di sekitar lubang hidungnya. Sesekali dia menghirup ingusnya.
Sontak saya menggeser ransel kecilku dari punggung. Membukanya untuk mengambil tissu basah. Saya ingin membersihkan ingusnya, melap peluh di wajahnya.
Namun, ternyata tissu basah ada di ransel besar yang kutinggalkan di tuktuk Yan. Hanya ada tissu kering yang tersisa dua lipat lagi di bungkus plastik kecil.
"Can i clear your snot?" tanyaku.
Dia memandangku bingung seolah tak paham permintaanku. Lantas saya mengulang pertanyaanku sambil mempraktikkan melap hidung. Lantas ia pun langsung melapnya dengan tangan kirinya. Saya harusnya jijik bukan? tapi tidak. Saya pernah menjalani masa kecil. Saya pernah ingusan. Saya membayangkan anak kecil itu saya. Saya membayangkan dia itu adikku.
"Are you a student? You are still very young, why you selling all these stuff?" tanyaku lagi.
"I help my mother," ujarnya.
Dia menunjukkan kios ibunya di ujung pekarangan candi. Kiosnya terbuat dari batang kayu dan terpal serta atap seng. Kios bongkar itu berderet dengan pedagang lainnya.
Mendengar jawabannya yang bekerja membantu ibunya, saya pun terdiam. Speechless. Entah kenapa, saya selalu salut melihat anak kecil yang bekerja mencari uang membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan harian mereka. Pengalaman seperti itu akan membentuk karakter mereka di masa depan, bahwa segala sesuatu yang didapat dengan jerih payah akan menghasilkan nilai tak terhingga. Ada kepuasan saat menggunakan hasil keringat sendiri, dan tentu saja tidak akan mudah menyerah akan keadaan, karena sudah ditempah kondisi sejak dini.
Namun di saat yang bersamaan, hatiku trenyuh. Anak sekecil itu, harusnya duduk mengenyam pendidikan, menikmati usia baru sekolah dengan pengajaran ringan, bermain bersama teman seusianya, mandi sore lantas menunggu malam supaya bisa makan bersama dengan keluarga, ayah dan ibunya. Tapi ini? Dia sudah harus bekerja membantu ibunya. "Ah adik kecil, semoga di masa depan engkau sukses," batinku.
"You want miss? 3 for 5 dollar".
"Key chains same, or i give you 4," ujarnya membuyarkan pandanganku terhadapnya.
"Tunggu saya di sini. Saya mau naik ke candi dulu. Bersihkan tanganmu. Lap dan bersihkan ingusmu. Pakai ini," janjiku memberikan seluruh tissu yang sudah kupegang itu.
"Nanti saya turun, wajahmu sudah harus bersih, tidak ingusan lagi. Baru saya mau beli magnet kulkasmu," pintaku seolah menyuruh adik sendiri.
Magnet kulkas yang saya beli dari bocah usia 7 tahun di pekarangan Candi Pumi Srah Srang, Takeo, Siem Reap, Kamboja. ( Dua lagi sudah saya hibahkan sebagai oleh-oleh) |
"Simpan ini untukku," tambahku lagi sambil menunjuk magnet kulkas persegi empat berukirkan Candi Angkor Wat.
Air mukanya pun langsung berubah. Matanya berbinar-binar.
Saya baru berjalan ke arah candi meninggalkan anak kecil penjual magnet kulkas itu. Di hadapanku, perempuan kecil mengenakan gaun motif putih-hitam mirip batik dan sandal pink berlari ke arahku. Dia berhenti. Berjarak. Memandangiku. Saya dengan cekatan mengarahkan kamera yang tersampir. Baru hendak memotretnya, dia sudah berlari kesana - kemari. Rupanya, itu adik si penjual magnet kulkas itu. Hal itu kuketahui setelah turun dari puncak candi.
Hampir satu jam di puncak Pumi Srah Srang, saya memutuskan turun. Swastamita yang dijanjikan spektakuler dari puncak itu zonk. Saya dan ratusan pengunjung multinegara yang sudah duduk manis ingin menyaksikan fenomena alam yang mengubah siang terang ke gelap malam layaknya menonton konser group band idola, akhirnya memilih bubar dan turun sebelum gelap datang. Tangga candi itu kecil-kecil. Kalau gelap datang, khawatir tergelincir.
Saat turun itu, di depan pagar candi, si anak kecil itu sudah menungguku sambil tersenyum. Dia mengangkat magnet kulkas yang kuminta ia simpan tadi. Dia berdiri bersama perempuan kecil yang berlari dengan semangat ke arahku sebelum naik ke puncak candi.
"Ini adikku. Usianya 2,5 tahun," ungkapnya.
"Oh hi beautiful little lady. How are you," ujarku tersenyum ramah sambil duduk jongkok di hadapannya.
"What is your name?" tanyaku.
"Dia belum bisa bicara," ujar abangnya itu.
Lantas saya pun mengusap rambutnya sembari berdiri lagi untuk memilih magnet kulkas jualan abangnya itu. Saat saya memilih itu, dia melihatku penuh selidik. Mungkin dalam pikirannya "Siapa perempuan ini? tetangga kami bukan? (
Dari anak kecil 7 tahun itu, saya membeli tiga magnet kulkas. Saya tak menawarnya. Anak itu membungkusnya dengan senang.
"Saum arkoun," ujarnya dengan senyum merekah. That's why i love children somuch. They have pure hearted, the real emotion. Senang ketika senang, sedih ketika sedih, tidak ada yang ditutup-tutupi.
"You're welcome. Bye bye," balasku sambil senyum.
Saya meninggalkan kawasan Pumi Srah Srang itu dengan berharap semoga anak kecil itu dan adiknya (yang jelas saja saya sudah lupa namanya) bahagia dan sehat selalu. Kiranya Tuhan memberkati masa depannya.
"Yan, terima kasih sudah menunggu. Tidak ada sunset seperti yang kamu bilang. Sekarang, waktunya ke penginapan. Saya sudah lapar dan sangat lelah. Saya mau istirahat juga," ujarku.
Yan pun melajukan tuktuknya menuju pusat Kota Siem Reap yang berdebu itu. (*)
-Hatiku terlalu besar untukku sendiri. Aku ingin membagikannya. Sama seperti hati anak kecil yang murni, yang dengan ringan melihat ketulusan, polos melihat keadaan. - Chya
All love,
COS
Siem Reap, Cambodia
Terharu baca cerita ini, Mbak. Hari itu mungkin anak kecil itu merasa bertemu dengan seorang malaikat. Tak hanya membeli gantungan kulkasnya tapi juga mengajarkan dia hidup lebih bersih
ReplyDeleteWhat a beautiful story. Kalau jalan tuh dan nemu momen-momen kayak gini terasa kesannya :)
ReplyDeleteTulisan mengenai Cabdi Pumi Srah Srang di luar sana pasti luar biasa banyaknya di luar sana, tapi yang mengalami momen seperti ini dan menuliskannya mungkin cuma kamu.
ReplyDeleteMomen, itulah yang membuat tulisan menjadi hidup dan berbeda.
Dan di bagian akhir saya hanya ingin menuliskan salah satu kalimat favorit saya dari G. Michael Hopf:
"Hard times create strong men. Strong men creates good times. Good times create weak men. Weak men create hard times."