Catatan Traveler - Saya, Covid-19, dan Kesempatan Hidup...
(Delapan Hari Penyangkalan Diri)
Tangan kanan saya diinfus. Saat mendapatkan perawatan di Ruang Isolasi Fransiskus, kamar 364, Rumah Sakit Santa Elisabeth, Lubukbaja. |
Senin, 3 Mei 2021, pukul 06.05 WIB
"Pagi mba, Gimana kabarnya?" begitulah bunyi Whatsapp (WA) yang masuk ke ponselku dari Gugus Tugas Puskesmas Lubukbaja, Dokter Elly.
Ada dua panggilan tak terjawab setelahnya.
Saat membaca isi WA tersebut, perasaanku sudah tak enak, meski selalu menanamkan dalam hati: 'saya (hasil swab) pasti negatif'.
"Pagi Mba Elly. Kabar saya baik"
"Demam udah ga ada lagi. Pilek masih ada dikit mba"
"Sudah keluar hasilkah?", balasku was-was.
Dokter Elly pun membalas:
"... Ya.. Hasil sudah keluar"
"POSITIF"
Saat membaca balasan itu, saya terhenyak. Mendadak duduk kembali ke kasur. Tangan kanan yang memegang ponsel lunglai begitu saja. Namun tetap saya melihat layarnya.
"Saya telpon ya?"
Belum sempat saya balas, bunyi dering telepon datang dari dokter Elly. Dengan ramah ia menyapa. Saya hanya bisa menjawab "Halo mba" sembari air mata bercucuran tak tertahan.
Kata-kata penguatan pun datang dari dokter Elly dari seberang sana. "Mba, semangat. Jangan sedih, nanti immunnya turun. Semangat ya, banyak yang sembuh kok. Semangat.. ayo semangat...," ujarnya.
Saya tetap tak mampu mencernanya. Sekuat apapun pikiranku membangun semangat saat itu, tetap lemas begitu mendapat kabar 'positif' itu. Saya tak sanggup merespon, karena energi untuk menangis lebih besar daripada menjawab dokter Elly. "Mba, tenangin diri dulu, jangan menangis. Bernafas ayo.. Tarik nafas, keluarkan...Ayo mba rileks. Saya tunggu nggak apa-apa....," hiburnya sambil memberiku waktu dan menungguku di ujung sana.
Saya mengikuti instruksi itu. "Apa yang harus saya lakukan mba Elly?" ujarku sambil berusaha mengatur suara supaya terdengar tenang.
Dokter Elly pun mengatakan, supaya saya mempersiapkan diri dibawa ke Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Galang. Karena hari itu, pasien sudah dibawa, maka giliranku akan dibawa keesokan harinya sekitar pukul 13.00 WIB bersama pasien lainnya dari Lubukbaja.
Dia pun memintaku untuk bersiap-siap, packing perlengkapan yang akan dibawa seperti pakaian, perlengkapan mandi,deterjen, aneka cemilan, vitamin, hingga perlengkapan pendukung karena rumah sakit itu jauh dari pusat kota. Ya, RSKI itu bekas Camp Pengungsi Vietnam sejak tahun 1979 hingga 1996 lalu.
Sedikit melegakanku, dokter Elly menyatakan akan berupaya mencari rumah sakit di kota supaya saya tak perlu dirawat di Galang. "Tapi saya usahakan mba Chahaya dirawat di kota. Karena bergejalakan? supaya segera mendapat perawatan," ungkapnya.
Usai mengucapkan terimakasih kepadanya dan menutup ponsel, saya terdiam. Tidak melakukan apa-apa. Cukup lama. Mencoba mencerna, kenapa harus saya? saya tak abai protokol kesehatan selama ini. Masker? selalu pakai. Hand sanitizer, gel maupun alkohol semprot selalu ada di tas. Tissu basah bahkan sabun tangan pun selalu tersedia.
"Can you be stronger Chay? Come on, breath in... breath out.. decide it now. Apakah menjadi lemah atau menjadi kuat?" Kepada diri sendiri, saya pun mengatakan: HARUS KUAT. TUHAN BAIK.. TUHAN PASTI SEMBUHKAN.
========
Minggu, 25 April 2021, pukul 15.24 WIB
Sore itu harusnya saya berangkat ke kantor. Ya, saya menggantikan rekan kerja saya, bang Yunus Suchari yang dirumahkan selama dua minggu sesuai kebijakan perusahaan. Saya bertugas menjadi editor halaman Ekonomi Bisnis dan sambungannya, serta halaman Properti.
Tugas itu akhirnya saya serahkan kepada rekan kantor, mas Priya Ribut Santosa dan koordinasi dengan bang Muhammad Nur dengan meminta izin tak masuk, karena saya tak enak badan. Saya sakit kepala yang tak kunjung sembuh dari malam sebelumnya, kemudian menggigil begitu selesai mandi.
Begitu izin saya disetujui, saya langsung istirahat. Seluruh tubuh saya balur dengan minyak telon, minyak esensial, hingga memakai kaus kaki, serta minum air putih hangat untuk menghalau dingin.
Malam hari sudah mendingan. Namun, dini hari saat bunyi pengumuman sahur dari masjid depan rumah berbunyi, saya terbangun. Mendadak panggilan alam. Saat mencoba bangun, tubuh saya serasa bergoyang. Pening. Saya pegang leher, panas. Saya tetap memaksakan diri ke toilet sambil pegangan ke dinding gang karena lemas. Begitu selesai, saya langsung ambil termometer dari laci, tes suhu. 38,4 derajat celcius. Waah nggak iya neh. Saya langsung ambil satu pil tablet Xepamol paracetamol dari kulkas dan meminumnya. Saya tidur lagi.
Keesokan harinya, demam turun, tapi saya malah jadi pilek. Dada nggak enak. Saya harus memaksa batuk supaya dahaknya keluar baru lega. Sempat terbersit 'Jangan-jangan ini Covid-19'. Namun pikiran itu saya sangkal cepat-cepat. "Tidak.. tidak Tuhan. Jangan sampai saya kena covid..," ujarku memohon dalam hati sambil menggelengkan kepala.
Selesai di situ? Belum. Malam, dada rasanya berat. Kadang nafas bunyi. Kembali, saya memaksa batuk lebih keras supaya dahak keluar. Dahaknya setitik menggumpal tapi warnanya menurutku tak normal. Lagi-lagi, saya menyangkal itu bukan Covid-19. Apalagi saya masih bisa membaui, indra pengecap masih bisa merasa, meski ujung lidah dan pinggirannya kerap kaya kesemutan.
Selama menghadapi gejala itu, satu botol obat batuk saya habiskan, rutin oles vaporub di dada dan di leher dan rutin hirup inhaler.
Pada Rabu 28 April, saya melakukan tes rapid antigen yang difasilitasi kantor di Kimia Farma, Batam Center. Usai mengisi formulir dengan memberitahu gejala-gejala yang saya alami, kemudian petugas pun mengambil sampel usap dari kedua hidungku dengan alat seperti cotton buds putih bergagang tipis agak panjang. Kurang dari 15 menit, hasilnya keluar. NEGATIF dan langsung melaporkannya kepada bu Elmi, Manajer HRD kantor.
Listen to your body. Begitu hasil antigen negatif, saya lega. Tentu saja. Namun, pikiranku masih ganggu. Masih ada yang tak beres di tubuhku.
Di klinik itu, saya bertemu rekan kerja, bang Nur dan Rengga yang juga antri untuk rapid antigen. Kami sempat mengobrol dan bilang saya lebih baik ngantor saja, toh hasilnya negatif kok. "Chay kalau masih tak enak badan dan ada gejala, jangan dipaksakan ke kantor. Pulang istirahat saja dulu. Galih yang handle tugasmu," ujar bang Nur.
Saat mengobrol itu, setelah bang Nur pergi dengan saudaranya, bersama Rengga, kami sempat mengobrol via telepon dengan bang Muhammad Iqbal, Pimpinan Redaksi yang juga atasanku di kantor yang saat itu lagi perawatan Covid-19 di RSBP Batam, Sekupang. Kami saling menguatkan dan mendukung. Yang saya ingat dari obrolan itu, bang Iqbal minta supaya jangan menyangkal pikiran dan tanda yang diberi tubuh dalam menghadapi Covid-19 ini.
"Kalau sudah ada gejala, langsung periksa dan swab saja. Itu lebih membantu pengobatan yang tepat daripada menduga-duga dan menyangkal diri sendiri. Terima saja apa pun hasilnya. Negatif kita syukur, positif ya terima saja itu lebih membantu supaya immun tak turun. Positif thinking saja," ungkapnya.
Atas saran itu, dibantu Rengga, akhirnya saya melaporkan ke Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Batam, bahwa saya mengalami gejala Covid-19 dan sudah rapid antigen dengan hasil negatif. Saya pun ditracing ulang.
Sore harinya, dokter Elly dari Puskesmas Lubukbaja menghubungiku, menanyakan apa keluhan yang saya alami, berkantor dimana, pernah kontak erat dengan siapa, sudah sejak kapan gejala itu ada, dan pertanyaan lainnya. Kemudian, dia memberikan jadwal Swab PCR ( Polymerase Chain Reaction) di Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam, Kamis 29 April 2021.
Kemudian, Jumat 30 April 2021, saya kembali menjalani swab PCR di Rumah Sakit Harapan Bunda (RSHB). Saat dikasih jadwal kedua ini, saya sempat keberatan dan menanyakan buat apalagi? Kan sudah diswab di RSBK, pun demikian sudah antigen dan hasilnya negatif. Dokter Elly menjelaskan, saya harus dua kali swab untuk menegakkan diagnosis Covid-19 karena beberapa gejala yang saya alami.
Teman, percayalah!!! Swab PCR maupun antigen itu tak menyenangkan. Hidung dan tenggorokan (nasofaring dan orofarings) kita ditusuk hingga keluar air mata untuk mengambil sampel. Sampel itu digunakan sebagai bahan untuk mendeteksi DNA Virus Sars-CoV2, virus penyebab Covid-19 yang menjadi pandemi global saat ini. _Padahal, saya lumayan sering antigen saat hendak
bepergian, urusan kerja, maupun urusan mandiri, tetap saja tak enak
ketika hidung kita ditusuk begitu. Bikin gatal, geli, keluar air mata,
arrrgh pokoknya tak enak_
Begitu selesai swab itu, saya tak pernah keluar rumah lagi. Izin sakit ke kantor. Seluruh undangan buka puasa dan kerjasama blog yang mengharuskan saya datang ke tempat, saya batalkan. Ajakan teman untuk sekedar makan siang saya tolak halus. Bahkan aktivitas olahraga yoga yang rutin kuikuti empat bulan terakhir ini, saya hentikan sementara. Saya memilih isolasi mandiri sampai hasil keluar.
Delapan hari penyangkalan diri, berdoa dan berharap hasil negatif akhirnya pupus dengan informasi: SAYA DINYATAKAN POSITIF COVID-19.
Dari suspek berubah status menjadi confirmed. Gugus Tugas Covid-19 Kota Batam mencatatku sebagai kasus terkonfirmasi positif ke 7401 dengan rilis yang dikeluarkan tertanggal 4 Mei 2021.
Saya merefleksikan Corona Virus Disease yang muncul di akhir 2019 yang kemudian disingkat menjadi Covid-19 ini, sebagai pemasaran berjenjang (MLM) yang tak sopan dan brengsek. Ya, MLM tak bertanggung jawab gitu. Kenapa saya bilang begitu? karena dia menularkan dengan cara member get member tanpa persetujuan. Tiba-tiba saja virusnya sudah ada dalam tubuh. Kapan dan dimana, jam berapa dia masuk ke tubuh nggak ada yang tahu. Kita cuma dibuat meraba-raba dengan ketidakpastian..... (bersambung)
Baru mau nanya, kira-kira tertular dari siapa dan bagaimana. Ternyata Chaya nggak tau juga ya. Jadinya dirawat dimana? Btw, gimana kabarnya sekarang?
ReplyDeleteGet well soon sister, semoga semua baik baik saja. (Mas Fauzi)
ReplyDeleteHebat chaya kamu kuat... sehat selalu dan jaga kesehatan ya.
ReplyDelete