Tuesday, August 20, 2019

Candi Poshanu: Elegi Situs Yang Kehilangan Bangsanya

 Menelusuri Situs Peninggalan Peradaban Bangsa Champa di Vietnam

Saat menginjakkan kaki pertama sekali di salah satu candinya, setelah membaca tulisan prasasti dua bahasa, Bahasa Vietnam dan Bahasa Inggris, saat itu hatiku meratap. Candi Poshanu ini menjadi bukti elegi situs yang kehilangan bangsanya. Bangsa Champa, satu pun kini tak ada yang mendiami tanah leluhurnya.  Kehilangan tanah airnya. Mereka kini berpencar, berubah menjadi etnik-etnik baru, agama-agama baru. Bangsa hilang, tinggallah Candi Poshanu.
Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak
Menara utama di Candi Poshanu, Vietnam.
SAYA menginap di Backpacking Club Hotel, salah satu penginapan di Jalan De Tham, pusat Kota Ho Chi Minh, di Vietnam Selatan. Hari ke lima di sana, saya memutuskan mengunjungi Phan Tiet, salah satu kota di Provinsi Binh Thuan, di bagian tenggara. Saya sengaja memilih bus malam, menggunakan Viet Nhat Travel.

Dari penginapan, seorang perempuan muda menjemputku. Dia staf dari Viet Nhat Travel. "Miss Chahaya, going to Mui Ne?" ujarnya sambil meminta bukti pembayaran tiket bus kepadaku.

Saya pun langsung bergegas. Mengangkat ransel, dan pamit kepada pemilik hotel, Tom dan istrinya yang ramah. Lantas mengikuti perempuan muda itu. Namanya Thien. Dia membawaku ke kantor mereka di kawasan Pham Ngu Lao, pusat backpacker di Ho Chi Minh. Di sana, sudah berkumpul beberapa calon penumpang dari multinegara. Ada yang ke Phan Tiet seperti saya, ada yang menuju ke Da Lat atau ke Hoi An. Kami semua satu bus.

Pukul 21.00 waktu setempat,  bus pun berangkat. Bus Viet Nhat Travel ini adalah bus sleeper. Di dalam bus, seluruh penumpang wajib melepas sandal, memasukkannya ke plastik yang disediakan, lalu membawanya naik ke atas kursi sleeper masing-masing. Di sana, sudah tersedia selimut bersih dan juga dua botol air mineral.

Perjalanan dari Ho Chi Minh ke Phan Tiet membutuhkan waktu lima jam. Tidak banyak yang bisa dinikmati kala malam hari. Saya pun memilih tidur selama perjalanan. Tiba di sana, sekitar pukul 02.30 dini hari. Beruntung, penginapan yang saya pesan, 1 & 10 Hotel and Resort, lokasinya berada di jalan lintas. Berseberangan langsung dengan Oriental Pearl Hotel.

Pagi pun tiba. Pukul 6.40 saya sudah sarapan di hotel, sekalian meminta maaf kepada staf hotel karena saya telat banget check in-nya. Beruntung, sang staf yang ternyata pemiliknya tidak mempermasalahkannya. Ternyata ia juga tinggal di sana.

Pagi itu, saya sudah berencana mengunjungi kawasan gurun pasir merah atau Red Sands Dunes di Desa Duong Vo Nguyen Giap. Dini hari sebelumnya, tukang ojek yang berbaik hati, yang membantuku menggedor-gedor pagar hotel tempatku menginap akhirnya saya rental seharian mengelilingi Phan Thiet. Seharga USD 8.

Ia pun menjemputku pukul 08.00. "Mumpung belum panas, kita ke Red Sands Dunes saja dulu apa ya? Baru dari situ, saya mengantarmu ke Poshanu Temple," ungkapnya. _Sekarepmu lah mas, yang penting saya harus ke Poshanu Temple_ yak seeep... tariiiik mang!!! Tapi pada akhirnya, di perjalanan, saya memilih ke Poshanu terlebih dulu.

 Menuju Candi Poshanu

Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak
Akses naik menuju Bukit Ba Nai, tempat Candi Poshanu berada.

Candi Poshanu merupakan situs peninggalan budaya Suku Champa yang mendiami Vietnam Tengah. Itulah mengapa orang juga mengenalnya sebagai Champa Temple. Lokasinya di Bukit Ba Nai, Phu Hai, sekitar 7 Km dari Mui Ne, pusat kota Phan Tiet. Pemandangan dari Bukit Ba Nai ini sangat indah. Perbukitan hijau dengan Laut Tiongkok Selatan sejauh mata memandang.

Tiba di pintu gerbang utamanya, tetiba saya dicegat petugas yang berjaga. Katanya, candi saat itu tidak open publik, karena sedang ada perbaikan situs.

Saya sempat kecewa. Betapa tidak, keinginan terbesarku saat itu adalah melihat situs peninggalan sejarah Bangsa Champa yang telah 'hilang' itu.  Saya pun meminta izin untuk diberi waktu. "Saya dari Indonesia. Saya belum tahu kapan lagi mengunjungi negara ini. Saya sangat menyukai sejarah Bangsa-Bangsa Champa ini. Bolehkah kamu memberiku waktu sebentar saja," pintaku.

Lantas si petugas meminta pasporku, mencatatkannya di buku tamu, lalu memperbolehkanku masu. Ya itu,  tetap membayar tiket masuk seharga VND 8000 atau sekitar Rp 5 ribu. Maka jadilah saya cuma satu-satunya pengunjung saat itu.
Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak

Dari pintu gerbang, candi merah ini sudah menyapa. Sejauh mata memandang sekeliling kawasan, beberapa titik reruntuhan candi masih terlihat dengan bahan yang khas, batu bata. Situs antara yang satu dengan yang lainnya saling terhubung. Pola arsitekturnya sudah unik dan canggih, padahal dibangun pada abad ke-8 hingga abad ke-9.

"Daya tarik candi Poshanu ini memang terletak di bagian arsitektur dan bahan yang dipakai untuk membuat candi. Bangsa-bangsa Champa kuno sudah mengenal seni modern pada masa itu," ujar sang petugas yang mendampingiku.

Dari prasasti yang tertulis di depan pintu masuk, saya membaca, Candi Poshanu ini, dulunya merupakan Pusat Kerajaan Bangsa Champa di Kerajaan Nusantara, sekaligus pemujaan warganya terhadap Dewa Siwa.

Tak hanya itu, kerajaan ini juga menjadi pusat pemujaan Hindu di Kerajaan Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan dua altar patung Lingga dan Yoni setinggi empat meter di dalam candinya, yang oleh umat Hindu menganggapnya sebagai simbol keramat dan suci.

Kawasan ini, menjadi satu-satunya karya arsitektur Champa yang tersisa di Phan Thiet yang dibangun 1.200 tahun yang lalu. Saat ini, hanya ada tiga candi yang tersisa, yakni candi utama untuk puja kepada putri Po Sah Inu, putri Raja Champa, dan dua candi yang di dalamnya terdapat altar batu Lingga dan Yoni itu tadi. Dua altar ini menjadi simbol Dewa Siwa, yang digambarkan dengan banyak pola ukiran dan pahatan yang mencerminkan keberadaan dan pertumbuhan reproduksi masyarakat Champa di zaman dulu.

Satu yang membuat kawasan candi ini unik, karena bentuk bangunannya yang nggak tinggi-tinggi amat. Candi utama terdiri dari tiga lantai dengan ketinggian 15 meter, dan tepi bawah lebih luas hampir 20 meter. Menara ini memiliki pintu sempit. Khususnya ke pintu masuk utama yang panjang ke arah timur. Menurut legenda Cham, pintu masuk ini dihuni para dewa. Karena pola dekoratif dan pahatan yang serupa dan keseragaman di setiap candinya, ada tiga gerbang palsu yang dibuat untuk mengelabui para musuh yang ingin menyerang Kerajaan Champa di zaman dulu. Jadi, saat saya ke sana itu, lorong gerbang dan pintu itu sedang diperbaiki, bahkan ada yang sengaja ditutup menggunakan batu bata untuk menghindari reruntuhan dari atas akibat material batu bata yang lapuk dimakan usia.
Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak

Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak
Di lengkungan pintu barat, kisaran berukir padat dengan bunga dan aneka gambar eksotis sangat terlihat jelas. Sementara di atas menara candi, ada empat jendela berbentuk segitiga yang dibangun di empat sisi. Bagian dalam menara, altar batu Lingga dan Yoni menjadi yang terkecil. Cuma empat meter. Sementara itu, di kejauhan,  adalah menara banteng Nandi, binatang penunggang Siwa. Candi ini yang paling sederhana.

Bangunan candi ini, dibangun dengan gaya arsitektur Hoa Lai, atau gaya seni kuno peradaban Champa yang sudah punah. Karakternya kecil-kecil dan material bata yang banyak terdapat di kawasan tersebut. Meskipun memiliki ukuran kecil dibanding peradaban candi Hindu lainnya, tapi tidak menghilangkan esensi teknik arsitektur dan seni dekoratif dari Champa kuno yang melahirkan karya-karya agung dan misterius, tua, dan masih relatif utuh.

Satu lagi yang membuat unik dan berbeda dari candi lainnya, bangunan Candi Poshanu ini mayoritas menggunakan batu bata bakar merah yang diikat dan direkatkan menggunakan pengikat khusus dari resin tanaman._Maha pintar banget bangsa-bangsa zaman dulu ya. Sudah kreatif_

Meski berada di puncak bukit, komplek candi dan bekas peradaban Champa di sekeliling candi ini masih terlihat lengkap. Pondasinya 80 persen masih ditemukan. "Tinggal perawatan dan pembangunan kembali saja. Makanya ditutup saat ini untuk mempertahankan dan memperbaiki peninggalan bersejarah ini," ungkap sang petugas.

Si petugas kemudian menjelaskan, saat ini, tak ada satu pun keturunan Champa yang tinggal di kawasan itu. Dia seorang pun tidak. "Saya orang Viet," ungkapnya.

Dari mengelilingi candi ini, saya ambil kesimpulan, keberadaan Candi Poshanu ini menjadi bukti. Bahwa Bangsa Champa pernah menjadi bangsa yang besar di Kerajaan Nusantara. Meski pun pada akhirnya kini mereka terpecah, kehilangan tanah air dan keturunannya kini berpencar ke berbagai kawasan di Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Thailand, Laos, Perancis, bahkan Amerika. Keturunan bangsa Champa ini sekarang paling banyak ditemui di Kamboja, yang sudah melakukan perkawinan dengan bangsa Khmer. Serta beberapa di Indonesia, khususnya sebagian keturunan Minangkabau di Sumatera Barat dan warga Komalasan (Kumalasa) di Pulau Bawean.

(Ada yang menarik. Ketika saya mengirimkan tulisan ini ke redaksional, seorang rekan kerja, bang Yusuf Hidayat yang seorang Bawean, langsung bersemangat mengisahkan bahwa warga Komalasan di Bawean itu sebagian besar adalah etnis Champa.  Karakternya: kulit kuning langsat, mata sipit, dan rambut lurus. "Kaya Hamid itu, (mantan rekan kerja kami dulu) dia Champa itu Chay," ujar bang Yusuf. Berdasarkan cerita bang Yusuf, sejak eksodus meninggalkan tanah airnya, saat hendak menuju Kerajaan Majapahit, Bangsa ini terdampar di Bawean, salah satu pulau di jalur pelayaran internasional zaman Kerajaan Nusantara lama. Tepatnya di daerah Komalasan. Di sana, oleh salah satu sunan dari Walisongo mengislamkan etnis ini. )
Poshanu Temple, Catatan Traveler, Vietnam, Chahaya Simanjuntak
Pemandangan dari Bukit Ba Nai
Lebih dari tiga jam mengeliling kompleks candi ini, saya pun beristirahat di Bukit Ba Nai. Saat menuju peristirahatan di Bukit Ba Nai itu, tukang ojek yang saya rental bilang begini: "Kalau ini tak ditutup, di kawasan candi ini ada satu festival Rija Nuga atau Poh Mbang untuk menyambut turis, yaitu ritual doa Hindu dan tarian asli Champa." Ah saya harus balik ke sini lagi someday. Setelah dari sini, saya melanjutkan perjalanan ke gurun pasir merah dan ke Fairy Stream Waterfall. (***)

24 comments:

  1. Saya paling suka artikel tentang candi-candi di luar negeri seperti ini. Jadi pengin ke sana nanti kalau sudah selesai renovasi. Jadi keturunan Champa ada di Bawean? Saya pernah jalan-jalan ke Bawean, naik kapal dari Madura. Wah, lumayan jauh letaknya. Tapi nggak ketemu orang Komalasan ya.

    ReplyDelete
  2. Candi Hindu toh? Kupikir Budha. Bedanya lagi dengan candi di Indonesia, warna batunya di sana merah. Mungkin tipikal kondisi tanah setempat, ya?

    ReplyDelete
  3. Seru banget ya mbak acara jalan jalan ke Vietnamnya. Dari tulisan ini juga saya jadi belajar sejarah. Pernah dengar sih kerajaan Champa di nusantara. Baru tau kalau pusatnya di Vietnam ya mbak. Suka kalau baca cerita gini.

    ReplyDelete
  4. Oooh jadi begitu ya orang-orang Champa dulunya berjaya di Kerajaan Nusantara :) Ternyata tersebar juga ke Minangkabau dan negara2 lain. Pantas aja para keturunannya berparas seperti mata sipit, kulit kuning langsat dan rambut lurus.

    ReplyDelete
  5. Bagus banget ceritanya dan beruntung sekali dirimu bisa jadi pengunjung satu-satunya saat itu, bahkan didampingi.
    Saya sendiri sudah pernah ke Bawean dan nggak nyangka kalau ada keturunan suku Champa di sana. Sepertinya saya harus lebih banyak membaca lagi nih.

    Perwujudan Siwa memang umumnya digambarkan dengan Lingga dan Yoni, hanya di Prambanan saja yang saya tahu Candi Siwanya ada patung berbentuk dewa Siwa .

    Selalu suka dengan tulisan sejarah begini :)

    ReplyDelete
  6. Bentuk susunan candinya berbeda ya dengan Candi-candi yang ada di Indonesia. Kalau di Indonesia entah bagaimana membangunnya, setiap batu candi berbeda bentuk tapi tetap bisa disusun rapih sampai tinggi tanpa ada ruang (seperti menyusun puzzle) :D

    ReplyDelete
  7. Candinya memng tdk terlalu tinggi ya mbak. Agak beda juga bentuknya dg yg biasa di indonesia. Menarique juga perjalanannya.

    ReplyDelete
  8. Saat baca judulnya, saya bertanya-tanya. Di mana letak candi ini? Ternyata di Vietnam. Saya jadi baca sejarah di masa lampau ketika baca tulisan ini. Hanya saja kalau dilihat dari bentuknya,ada kemiripan dengan candi di negara kita. Candi Poshandu ini lambang agama hindu.

    ReplyDelete
  9. Selalu suka kisah jalan²nya Chahaya. Seru ya sambil belajar sejarah. Nah itu, konon krn terbuat dari bata merah, jadi mudah hancur, krn materialnya berpori. Konon itu juga sebabnya tidak ada peninggalan candi di zaman Majapahit. Udh hancur jadi tanah. Beda dng Borobudur atau Candi di Siem Reap.

    ReplyDelete
  10. Oh batu candinya merah ya..kalau dikita kebanyakan batu candinya hitam ya.. kenapa y? Oh dan saya penasaran dg bus nya..hihi..

    ReplyDelete
  11. Selalu senang Klo cerita tentang sejarah, apalagi mengenai asal usul suatu bangsa

    ReplyDelete
  12. melihat foto Candi Poshanu terkesan familiar...
    setelah baca ini peninggalan bangsa Campa, langsung ngecek lagi tulisanku Mencari Majapahit..
    ah ya candi Poshanu memang mirip dengan Candi Pari di Sidoarjo,sama2 terbuat dari bata merah dan bentuknya agak kubus, diduga ini dulu ada pengaruh hubungan Majapahit dan Campa..

    seru iih jalan2nya, sama spt kk juga nih nggak bisa lihat candi langsung mampir pengen tau

    ReplyDelete
  13. The power of melas-melas 😂😂😂
    Perjalanan selama 5 jam pun terbayar ya. Masalah yang sempat merintang akhirnya dapat teratasi. Btw kak, kalo aku jadi kamu, alih-alih ambil bus malam dan jadi rugi hotel sehari atau terlunta-lunta setengah hari, aku akan lebih memilih ambil bus siang. Pemandangan pun terlihat.

    Waaa menarik! Aku baru tau ada jejak suku Champa di Indnesia khususnya di Minangkabau dan Bawean. Thanks for sharing kak.

    ReplyDelete
  14. Pasti lega dan senang sekali akhirnya diperbolehkan masuk. Penjaganya baik hati, semoga hidupnya diberkahi hehe.

    Jadi teringat beberapa hari yang lalu saya ke kebun raya Bogor, di salah satu pintu masuk istana (yg berada di dalam kebun raya) saya bertemu dengan ibu-anak (yg anaknya sedang hamil) ngebet banget ketemu pak Jokowi. Si anak yg sedang hamil ini katanya lagi ngidam.

    Tapi yaa beda cerita lah ya dengan mbak hehe. Bertemu presiden ga semudah itu :"

    ReplyDelete
  15. Kalau ada yang bahas candi itu berasa langsung flash back zaman Hindu itu. Tapi unik ya, ini dari batu bata merah. Sepanjang yg aku pernah lihat biasanya dari batu.

    By the way kak, kok agak miris ketika baca gk ada satu pun keturunan Champa yang tinggal di kawasan itu. Tapi jadi penasaran sama jejak keturunan Champa di Minangkabau dan Pulau Bawean.

    ReplyDelete
  16. Aku pernah baca, salah satu raja majapahit memperistri puteri Raja Champa. Cuma aku lupa siapa namanya.

    Btw, gaya candinya mirip dengab Muara Takus di Jambi, dan candi-candi di Ayuthaya Thailand ya.

    ReplyDelete
  17. Aku baru tahu ada candi peninggalan etnis Champa di Mui Ne dari tulisan ini. Latar belakang cerita candi Poshana ini menarik. Well,, tiap candi punya cerita-cerita menarik. Warna candinya pun cenderung merah karena terbuat dari batu bata ya.

    ReplyDelete
  18. Hebat ya teknik membuat bangunan masyarakat zaman dulu. Membuat candi dari batu bata, atau batu seperti di Borobudur semuanya kuat pondasinya. Saya masih penasaran, kenapa akhirnya tidak ada bangsa Champa di sana. Terjadi sesuatu, kah?

    ReplyDelete
  19. woah! Sungguh sebuah peninggalan sejarah yang syarat akan makna mbak. Sebuah bangsa yang telah hilang dari tanah kelahiran

    ReplyDelete
  20. Ternyata dulu Bangsa Champa juga besar di Nusantara ya. Saya baru mengerti. Ternyata kalau berkunjung ke candi atau situs sejarah, benar benar bisa memahami konteks terdahulunya seperti apa ya. Dan disitu asiknya sih. Bukan sekedar mampir dan foto. Jauh dari itu jadi kenal banyak peradaban

    ReplyDelete
  21. berbeda dengan di Indonesia ya, Candi disana malah kaya pakai batu bata, mungkin lebih Tua di Indonesia dari pada di vietnam ya,

    busnya koq asyik ya ada slimut dan bantal, dan pasti bersih banget tuh soalnya sendal harus dilepas

    ReplyDelete
  22. Sedih banget ya sampai satu bangsa pun tercerai berai harus mencari penghidupan sendiri-sendiri, jadi ingat pengungsi akibat perang deh, semoga negara kita aman sentosa..

    ReplyDelete
  23. Menarik banget, datang ke destinasi yang bukan mass tourism.. baru tau juga ternyata ada kerajaan Champa pernah berkuasa di Indonesia. Candi bata merah mirip dengan candi Budha di Ayutthaya ya

    ReplyDelete
  24. Champs Temple punya sejarah yang cukup menarik untuk ditelisik tapi sayang keturunan mereka berpecah, hingga akhirnya dinyatakan hilang. Seru sekali, semoga suatu saat bisa kesini

    ReplyDelete