Di dalam gereja Huyen Si Church. |
Dari Siemreap ke Ho Chi Minh
Saya tiba di Ho Chi Minh sudah larut malam, sekitar pukul 22.30 ICT setelah hampir 18 jam perjalanan dari Siem Reap, salah satu provinsi di Kerajaan Kamboja. Ya, saya naik bus dari Kamboja ke Vietnam. Bus menurunkanku dan sejumlah penumpang lainnya di pusat backpacker, Pham Ngu Lao Street.Kembali mengunjungi Vietnam ini saya putuskan mendadak setelah keluar dari Bandara Siem Reap. Begitu keluar dan menaiki tuktuk yang dikendarai Yan (Saya rental USD 15 selama 1 hari), udara panas langsung menyerang. Siemreap saat itu gersang dan dusty. Padahal jam masih pagi. Mendadak saya kepikiran "Kenapa tidak ke Vietnam lagi saja? Nanti dari Ho Chi Minh bisa naik pesawat ke Da Nang". Di perjalanan dari bandara menuju Angkor Conservation Building untuk membeli tiket masuk Angkor Wat, saya minta kepada Yan "Yan, sebelum ke Angkor Wat, tolong antar saya ke stasiun atau loket yang menjual tiket bus ke Ho Chi Minh," pintaku. Yan pun menyanggupi.
Perjalanan kali ini, saya tidak terlalu fokus ke itinerary. Perjalanan mengalir sesuai kemauan. Setelah dua hari dua malam mengelilingi Siem Reap, di hari ketiga, pagi harinya, saya pun berangkat ke Ho Chi Minh. Bayangan makan pho (mie kuah khas Vietnam) di sudut Bui Vien Street dan menikmati sepotong banh mie (roti isi sayuran) sudah terbayang di ujung lidah. Ya, saya suka makanan lokal Vietnam sejak pertemuan pertamaku dengan negara itu di 2013 lalu.
In short story, tibalah di Vietnam (Dalam kondisi badmood dan lelah sebenarnya. Nantilah saya ceritakan lagi di post berikutnya alasan badmood-nya). Dari lokasi bus menurunkan kami penumpang, dengan berjalan kaki, saya menuju penginapan di Alleyway Hostel yang telah saya booking sehari sebelumnya. Hostel ini terletak di Pham Ngu Lao Ward. Jaraknya sekitar 200 meter dari Pham Ngu Lao, pusat backpacker yang ramai itu.
Ho Chi Minh, I'm Coming Again
Jemaat antri ikut sakramen ekaristi. |
Tiba di hostel, check-in, diantar masuk ke kamar, say hi kepada tiga tamu lainnya di kamar, lantas simpan barang, duduk di kasurnya sambil bersyukur dan bilang dalam hati "Hello Ho Chi Minh. Here i'm coming again". Setelahnya mandi, untuk selanjutnya keluar cari makan malam sambil jalan bareng dengan mas Imam Soetoro, kenalan baru yang langsung akrab begitu kami tahu sama-sama berasal dari Indonesia. Dia sudah menunggu di lobi hostel. (Lagi, ini akan saya ceritakan di post selanjutnya ya...seru soalnya. haha).
Malam itu, saya mengajaknya menikmati suasana malam hari yang ramai di kawasan Bui Vien Street. Namun, sebelumnya mencari makan malam dulu. Saya memutuskan memilih Pho sebagai menu makan malamku. Ia tak makan, karena saat kami bertemu itu, dia baru saja selesai makan malam dan hendak kembali ke hotel tempatnya menginap. Ia seorang Indonesia yang bekerja di kapal Korea yang tengah sandar di Ho Chi Minh. Sehabis makan pho, kami lanjut ke Bui Vien. Melihat pasar malam yang ramai, bertabur lampu dan aneka jajanan khas. Kami memilih nongkrong sambil memesan kopi khas Vietnam. Mengobrol sampai pukul 12.15 ICT sebelum kembali ke penginapan masing-masing. _Tuhan Maha Baik banget mempertemukan dengan orang baik dan menjadi teman hingga kini.
Keesokan harinya, Sabtu. Setengah hari saya menemani mas Imam keliling distrik satu sebelum pukul 14.00 ia sudah harus kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan menuju Thailand, sebelum bertolak ke Korea. Saya menjadi guidenya, meski pun kadang-kadang masih tersesat juga. haha. Sepulangnyadia ke kapal tempatnya ia bekerja, saya kembali ke hostel, istirahat sebentar menunggu sore tiba, biar matahari adem dulu. Eh bablas ketiduran hingga pukul setengah 7-an lewat.
Hari itu malam minggu terakhir di Oktober. Hari dimana saya ulang tahun. Bergegas mandi, malamnya pun saya keluar kembali. Memilih nongkrong di Higlands Coffee (Starbucks-nya Vietnam) di persimpangan hostel. Sambil menyeruput es kopi, sambil memperhatikan gaya hidup anak-anak muda Ho Chi Minh yang karakter nongkrongnya kurang lebih sama dengan kita di negara +62 ini. Malam itu, kafe kopi setarbak ala Vietnam itu ramai sekali sampai ada yang antri menunggu dapat tempat duduk. Kasihan kepada pasangan muda, saya pun langsung menghabiskan kopiku, mempersilakan mereka duduk di meja yang saya tempati. Saya pun keluar. Lantas melanjutkan kegiatan mengunjungi Pasar Thai Binh. Lokasinya sangat dekat. Cukup menyeberang dari Higlands, sudah sampai. Di sana, kembali saya melihat aktivitas warga lokal yang sibuk berbelanja dan juga para turis yang asyik menikmati aneka makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Malam hari, kawasan itu memang lebih banyak menjual aneka jenis makanan lokal. Para warga dan juga turis duduk bercampur di meja dan kursi pendek.
Saat hendak memotret aktivitas para penjual dan pembeli makanan yang antri di pinggiran pasar itu, tetiba mataku terarah ke Banh Mi Chim Chay (Kaya namaku ya). Yes!!! beli banh mi ah. Meski pun sudah kenyang minum kopi, tapi tetap slot untuk banh mi di perut masih ada dong. haha. Saya pun membelinya.
Sejak pertama kali mencicip ini di 2013, saya langsung suka. Sudahlah enak, potongannya juga besar. Harganya? hmmm sungguh buat bahagia dompet, cuma VND 8000 (sekitar Rp 5000). Saya membungkusnya. Memilih makan di hostel.
Oh ya, banh mi itu adalah penganan khas Vietnam yang terinspirasi dari makanan ala Perancis yang pernah menjajah negara itu selama 150 tahun. Malam itu, saya membeli Banh mi atau roti gandum (baguette) yang di dalamnya ada isian abon babi, cilantro, potongan acar wortel, slada, dan timun, saus cabe, mayones, dan potongan tipis ham dengan saus bening manis.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 PM. Saya memutuskan kembali ke hostel. Masuk ke kamar, ambil novel Supernova: Inteligensi Embun Pagi karangan Dee Lestari dan air mineral botol dari loker, lalu naik ke rooftop. Rooftop di hostel ini ada tiga bagian: dapur tamu, tempat jemur kain, dan balkon terbuka yang dilengkapi kursi dan meja. Di sinilah para tamu sering kumpul.
Saya naik itu, masih sepi. Hanya seorang pria Jerman yang mencuci piringnya. Ia baru selesai makan. Setelah say hi sama dia, saya langsung menuju kursi di balkon. Duduk, minum seteguk air, lalu membuka bungkusan banh mi tadi. Jangan tanya rasanya banh mi kepadaku. Kapan pun dan dimana pun di Vietnam ini saya icip banh mi semua rasanya enak. Nah, khusus malam itu juga, rasanya masih tetap enak banget. Segarnya sayuran, asam manisnya mayo dan saus bening, serta gurihnya abon dan ham dalam satu gigitan sangat memanjakan lidah.
Menikmati banh mi, pandangan saya berkeliling. Hanya terlihat atap-atap rumah yang saling berdempetan di bawah sana. Pusat Ho Chi Minh di Pham Ngu Lao ini memang kawasan padat. Hingga mataku tertuju pada satu bangunan menjulang tertancap salib. Menara gereja. Sontak menggumam "Saya harus ibadah di sini besok".
Cukup lama saya menghabiskan waktu di rooftop, sampai lewat tengah malam. Terlalu asyik membaca novel hingga dibuyarkan oleh dua tamu perempuan yang terlihat masih belia. Mereka asal Virginia, Amerika Serikat. Mereka menyapaku, lantas kami kenalan. Ini perdana mereka di Vietnam dan akan menyusuri negara itu dimulai dari Selatan ke Utara, sebelum terbang Philippina. "Kami cuti enam bulan, dan memilih exploring Southeast Asia," ujar satu di antara mereka.
Saat mereka membuka botol bir dan minta izin untuk merokok, saat itulah saya izin juga untuk turun. Saya tak suka asap rokok, menyebalkan kalau baunya sudah nyimpen di baju. Saya turun tak lantas ke kamar, melainkan ke lobi, menanyakan jadwal ibadah di gereja yang dekat penginapan itu kepada staf hostel.
Namun, si staf hostel mengatakan tidak tahu karena ia baru bekerja di sana. Dan dia bukan anak Ho Chi Minh, melainkan berkampung halaman di Hue. "Tapi coba saja pergi pagi. Biasanya ibadah selalu pagi bukan?" ujarnya. Saya pun mengikuti sarannya.
Tak Tahu Nama Gereja dan Ikut Sakramen Ekaristi
Para jemaat berdoa di gua Maria seusai ibadah. |
Pukul 8.10 saya sudah turun, bersiap ke gereja. Nah permasalahannya, dari mana akses ke gereja ini? Soalnya ada banyak akses dari hostel. Jalan lurus ke kanan-kiri, hingga depannya selalu bablas ke jalan raya lain. Mengikuti insting dan mengingat letak gereja yang dilihat dari rooftop tadi malamnya, saya memilih jalur keluar ke kanan, sampai pertigaan di jalan besar. Lalu, lanjut jalan ke sebelah kiri. Dari sini, kawasan gerejanya sudah kelihatan, hanya dibatas pagar dan tanaman hijau. Lantas pintu masuknya dimana? Ternyata pintu masuknya, saya harus berjalan lurus dulu sekitar 100 meter, lalu belok kiri 20 meter lagi untuk sampai di satu-satunya gerbang utama gereja.
Saat memasuki kawasan gereja, sudah banyak jemaat yang duduk di kursi luar. Luar biasa banyaknya jemaat di gereja ini. Meskipun Vietnam negara sosialis, tapi kebebasan beribadah di sini terjamin keamanannya dan terbuka. Tidak ada tekanan dari negara. Setidaknya itu yang saya lihat langsung.
Saya sebagai pendatang dan bukan jemaat, tahu diri dong. Nggak mungkin orang-orang duduk di luar kalau di dalam masih banyak kursi kosong ya kan. Maka jadilah saya juga duduk di luar bersama mereka. Saya mengambil satu kursi merah dari tumpukan di sebelah kanan gerbang masuk, lalu meletakkannya membelakangi patung sang rasul. Saya tak tahu itu rasul siapa. Semua tulisan di sana berbahasa Vietnam. Bahkan nama gereja ini pun saya tak tahu sampai saya meninggalkan Vietnam. Di kertas stensilan gereja yang biasa dibagikan ke jemaat, semuanya tertulis dalam Bahasa Vietnam. Jadi jelas, saya tak tahu.
Memasuki gereja ini saya sudah tersadar, ini Gereja Katolik. Karena di sebelah kirinya terdapat gua Maria, dan sebelah kanannya ada patung Yesus disalib. Demikian halnya dengan suara liturgi khas ibadahnya.
Apa saya balik kanan? Tidak. Lha kok Protestan bisa sembahyang di gereja Katolik? Niatku ibadah. Saya nggak peduli mau di mana ibadah. Sepanjang hatiku bebas menyerukan nama Tuhan dan bersyukur atas pertolongan dan perlindunganNya, dimana pun, semua tempat adalah rumah ibadah. Karena sejatinya esensi dari rumah ibadah itu adalah di HATI, bukan di lambang. IMHO
Ibadah di gereja ini, tata liturgisnya berbahasa Vietnam. Tentu saja saya tak mengerti. Apa pun yang mereka nyanyikan saya tak mengerti. Namun, kalau mereka berdiri, saya ikut berdiri. Mereka bernyanyi lantas berdoa dan memberi tanda salib, saya isi dengan doa-doa dalam hati.
Dari antrian saya curi-curi motret. |
Tibalah giliran saya mendapatkan roti dan anggur sebagai lambang dari daging dan darah Yesus yang dicurahkan di Bukit Golgata untuk menebus dosa umat manusia dan dosaku juga. Saya memakan dan meminumnya. "Oh ini perjamuan kudus. Sama kok," pikirku.
Usai perjamuan kudus, saya memilih tak keluar lagi. Saya duduk mengambil kursi kosong di sayap kiri gereja, mengikuti si keluarga muda yang ramah dan mudah senyum itu. Di sebelah kiri kursi kami itu, ada ruang setengah lingkaran dengan beberapa patung perempuan. Tapi bukan Bunda Maria. Usai perjamuan kudus, masing-masing jemaat menghadap ke arah sana, berdoa, sambil memberi lambang salib.
Sampai selesai ibadah, saya tak tahu apa nama gereja ini. Bahkan sampai pulang ke Indonesia. Barulah saat mau menuliskan blog post ini, saya mencari tahu di Google dengan mengetikkan kata kunci Catholic Church in Pham Ngu Lao di Search Engine. Maka keluarlah namanya: Huyen Si Church. Itu pun belum yakin, sampai saya mencocokkan foto pribadi dengan foto yang ada di internet. Menurut mbah Google, ini merupakan gereja terbesar kedua di Ho Chi Minh setelah Na To Duc Ba (Saigon Notre Dame Catedral). Dibangun pada tahun 1859. Gereja ini tak setenar Notre Dame, tapi bangunannya cukup megah dan bersahaja, serta ada sejarah di dalamnya.
BANGUNAN Gereja Katolik Huyen Si yang diambil di rentang tahun 1940-1949 setelah mengalami proses editing digital. Source: Repository Manh Hai Photo Gallery |
Sama seperti pernyataan mamaku " Rumah ibadah terbaik itu ada di hatimu. Rumah Tuhan itu bukan di lambang, tapi ada di dalam hati kita. Kalau hati kita damai, mengasihi sesama manusia tanpa membeda-bedakan apa agama dan sukunya, maka itulah arti, makna, dan esensi sebenarnya dari rumah ibadah dan buah dari apa yang selama ini kamu dapat dalam beribadah," Saya setuju itu.
Sebelumnya, ketika saya diminta menjadi saksi pernikahan teman kantor selama bimbingan pranikah secara Katolik, atau menghadiri akad nikah sahabat di masjid raya, saya selalu hadir dan tidak pernah sekali pun merasa anti dan tak enak hati. Selalu saya menganggap bahwa rumah ibadah itu, dari keyakinan mana pun selalu menenangkan dan menenteramkan. Pun ketika menemani teman, seorang Jepang berdoa di kuil Jepang di kaki Pegunungan Tendo di Fukui. Ikut berdoa di sana. Atau memasuki vihara dan turut mengikuti prosesi sembahyang, turut menyalakan dupa sebagai lambang doa untuk kebahagiaan pernikahan sahabat, saya turut berdoa. Tentu saja saya berdoa sesuai dengan iman dan keyakinanku dalam hati. Pada porsinya. ***
DISCLAIMER: Tulisan ini bukan untuk diperdebatkan. Ini murni pengalaman pribadi secara langsung dan pemahamanku melihat bagaimana seharusnya beragama. SALAM and ALL LOVE.
The Purpose of all the major religious traditions is not to construct big temples on the outside, but to create temples of goodness and compassion inside, in our HEARTS. My religion is very simple, my religion is kindness (love).
-DALAI LAMA-
Huah cukup panjang cerita nya kak chay sampe akhirnya ketemu gereja itu..
ReplyDeleteBtw kalo kita ke filipina, tailand, masik mirip2 mukanya ya sama orang Indonesia.
Asalkan kita diem aja, mungkin gak terlalu mencolok, hihihi
Seru kali yaaa kak. kalo dibuat vlog nya keknya bagus kali wkwk
ReplyDeleteSerasa ikutan berada di Ho Chi Minh, it was completely specific. Nice, Sista 😊
ReplyDeleteAkkk,, backpackeran itu impian masa lalu. Setelah memutuskan untuk nikah mdi usia relatif muda, sampai sekarang belum bisa backpackeran. Kebayang bawa anak kecil-kecil pada rempong.. Cerita kak Chay serasa membangkitkan keinginan itu lagi. Makasi kakak..
ReplyDeleteTravelling gak usah dandan sih, lama ya kan, yg penting tetap pake skincare eaaak
ReplyDeleteTravelling sambil perjalanan spiritual seru ya kak ^^
ReplyDeleteJika perjalanan selalu menuntun pada pengalaman baru, yakin aja tujuan terakhirnya selalu rumah. hehehe
Salam kenal yaa kak
lilpjourney.com ^^
Wah agak kesulitan juga yah kak, kalo semua teksnya bahasa Vietnam tanpa translate to English hehe
ReplyDeleteJadi pengin berkunjung ke gerejanya. Saya penggemar gereja tua.
ReplyDeleteBtw, saya katolik tapi pernah ikut kebaktian GKI, GKJ, Bethel, dan tiap Natal selalu ikut kebaktian oikumene. Pas jalan-jalan ke Malacca, malah ikut misa Anglikan karena nyasar pas nyari gereja Katolik. Yang penting kan niatnya.
Baca narasi ini, membuat saya seakan-akan ikut dalam perjalananya di Ho Chi Minh. Keren kak.
ReplyDeletekadang emang perlu gitu ya, tetiba aja pas lagi di rooftop, tau2 liat bangunan tertentu dan pengen kesana. Kadang, hidup dan berjalan2 itu memangbutuh yang dadakan kayak gini, lebih excited.
ReplyDeleteRumah ibadah terbaik itu ada di hatimu. Rumah Tuhan itu bukan di lambang, tapi ada di dalam hati kita. Kalau hati kita damai, mengasihi sesama manusia tanpa membeda-bedakan apa agama dan sukunya, maka itulah arti, makna, dan esensi sebenarnya dari rumah ibadah dan buah dari apa yang selama ini kamu dapat dalam beribadah
ReplyDelete_____________________
Love banget kalimat ini
Ibadah itu urusan pribadi kita dengan sang pencipta
tempat ibadah hanya ruang untuk memfasilitasi, selebihnya semua adalah komunikasi hati dan pikiran dengan yang Maha Kuasa. Dimanapun tempatnya
Halo :) Meskipun ga paham semua dengan Bahasa Vietnam tapi mbak mengikuti aja semua yg dilaksanakan di sana. Namanya wisatawan yang turut beribadah di negeri orang, yang penting sesuai hati ibadahnya ya. Semoga berkah niatnya.
ReplyDeleteSaya 11 tahun sekolah di sekolh Katolik ya sering banget ikut ibadahnya. Setelah sekian tahun lulus, malah saya kangen ikut ibadahnya. Liturginya pun sampai sekarang saya hafal.
ReplyDeleteIngatlah selalu, "gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya. Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah ORANGnya"
Ceritanya panjang dan lengkap.. jadi kebayang semuanya... Gerejanya pun bangunannya bagus banget...
ReplyDeleteGerejanua cakep. Kayaknya kalo di posisi yg sama, aku juga bakal ikut misa di gereja ini. Sensasinya beda kan. Tujuannya sama2 ibadah, pake bahasa universal. :D
ReplyDeleteSuasana rumah peribadatan di mana-mana terkesan tenang, ya. Suka deh lihat ornamen gereja ini
ReplyDeleteawak cuma mau komen satu, cieeee yang balik ke negeri asal muasal :D
ReplyDeletenggak milih flash pack, akhirnya lebih dapat suasana ybaru yang lebih merespa ya Chay..
ReplyDeletepengalaman baru ikut misa di gereja dengan bahasa Vietnam, tetap syahdu kok ya
Di Ho Chi Min banyak tempat-tempat bagus dan bersejarah ya... suka deh
ReplyDelete