HI!!! Magandang gabi. Ako ay si Chahaya Simanjuntak. Galing akong Indonesia.
------------------------
------------------------
Briones family and i. (L to R: Me, tio Ariel, Tia Divine, Sandrino, Niel, lola, and Yosef) |
"Are you Filipino?" pertanyaan itu kembali ditujukan kepadaku.
SAYA memilih bermalam di Singapura, setelah tiga hari dua malam pesiar di Dream Cruise, kapal pesiar Hongkong. Tiba di Singapura sudah sore. Antrian di Imigrasi Marina Bay Cruise Centre (MBCC)-lah yang membuatnya lama. Lebih dari tiga ribu penumpang yang turun dari kapal, semuanya antri menuju ruang Imigrasi. Wajar saja lama. Saya kebagian antri lebih dari dua jam.
Kelar urusan imigrasi, menggunakan layanan transportasi online, Gocar (Ya di Singapura sejak Desember 2018 lalu sudah hadir Gocar. Kerenkan, perusahaan start-UP Indonesia merambah dua negara, GoViet di Vietnam dan Gojek di Singapura) saya menuju penginapan yang sudah dibooking sebelumnya di kawasan King George Avenue, Kallang.
Check-in. Kamar saya di lantai empat. tipe mix-dorm isi enam orang. Tiba di sana itu, saya berdua dengan teman seperjalanan yang juga ikut pesiar. Kak Danan namanya.
Setelah menyimpan koper, kami keluar mencari makan malam ke kawasan China Town. Dari penginapan, jalan kaki ke stasiun MRT Bendeemer, lalu ke China Town. Makan malam kali itu, saya memilih laksa Singapura.
Tiga jam lebih di China Town. Sempat juga melihat para lansia, nelli a.k.a gerombolan nenek lincah dan kakek lincah latihan dansa di taman gantung di sana. Lalu, balik ke hostel. Tiba di penginapan, di kamar sudah ada tiga tamu baru. Dua perempuan setengah baya, dan satu remaja pria.
Lantas saya menyapa mereka. Mereka balik menyapa dari tempat tidur masing-masing. "Are you Filipino?" tanya salah seorang diantara mereka. Celia namanya.
"No, i'm Indonesian. Kalian dari Pilipina?," ujarku senyum.
"Ya kami dari Filipina. But you look like us, Filipino," ujar salah satu perempuan rekannya menimpali.
Mereka keluarga. Celia, Rodrigo, dan satu lagi perempuan, lupa namanya. Dua perempuan ini sudah berumur. "How to say Aunty in Tagalog?" tanyaku.
"Tiya (tia) for aunty, Tiyu (tio) for uncle," ujar Celia.
"Then, let me call you both Tia. Hi Tia Celia," ujarku, yang lantas mereka respon dengan 'hi' lalu tertawa. Malam itu, suasana kamar terlihat akrab. Perbedaan kewarganegaraan hanya berbatas benang tipis. Apalagi, wajah saya sangat mendukung menjadi seorang Pinoy kata mereka.
Sebenarnya, pertanyaan ini sudah sering dialamatkan ke saya. Tahun 2013 sewaktu traveling di Ho Chi Minh, saat hendak membeli kopi di toko kopi yang tersohor di kawasan Pham Ngu Lao. Saat asyik mencium masing-masing aneka jenis kopi dari kalengnya, tiba-tiba seorang pria menyapaku dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Terang saja, saya nggak ngeh itu ditujukan kepadaku dan asyik saja membaui kopi. Hingga akhirnya ia mencolekku lantas bertanya " Sorry, are you Filipino?".
"No, i'm not. Saya orang Indonesia," ujarku.
"Oh i'm so sorry, saya kira kamu orang Filippina. Saya sempat bertanya ke kamu tadi dalam Bahasa Tagalog. Kamu tak merespon. Saya menganggap sombong sekali. Makanya saya colek kamu. Maaf banget," ujarnya dengan Bahasa Inggris terbata-bata dan merasa bersalah.
"Oh it's OK. Never mind," ujarku merespon sambil senyum.
"Tapi kamu mirip sekali dengan orang Filippina. Seriusan bukan Pinoy?" _Ya elah ini orang ngotot banget. Apa perlu saya keluarin paspor? hahaha_
Lalu si pria tersebut mengungkapkan, ia pernah ke Indonesia. "Jakarta and Bandung. Tapi saya lebih suka Bandung. Ini t-shirt saya beli dari Bandung," ungkapnya yang lantas saya respon, "oh really? What do you think about my country?"....
Di perjumpaan sekarang, setiap tugas ke Singapura, kalau nggak dianggap orang Pilippina, pasti saya dianggap juga orang Thailand. Ya sudahlah ya. Kan memang tipikal orang di Asia Tenggara itu ya pada dasarnya mirip kan?
Nah, Sabtu siang keesokan harinya di penginapan. Menunggu check out, saya memilih minum kopi dulu. Penginapan itu menyediakan free tea and coffee sepanjang hari. Saya duduk. Mengambil novel berjudul A Legacy of Spies karangan John Le Carre dari rak. Novel ini menarik perhatianku, karena sinopsisnya berbau misteri dan spy thriller begitu.
Tiba-tiba, dengan terburu-buru, satu keluarga datang membawa bungkusan plastik. Terdiri dari ibu, ayah, nenek, dan tiga anak prianya. Mereka tamu dari Pilipina juga. Tentu saja ini saya tahu setelah berkenalan dengan mereka.
"Early lunch?" sapaku.
"Ya, kami mau check out sebentar lagi. Makan dulu sebelum kembali pulang ke Pilipina. Penerbangan sore nanti," ujar sang ayah.
Seperti biasa, dalam perbincangan ini, mereka mengira saya orang Pilipina. "Are you Filipino?" tanya tia Divine. "No i am not. Saya dari Indonesia," ujarku.
"Oh saya kira kamu orang Pilipina," tanyanya lagi.
"You are the one millionth person who says that i am Filipino," ujarku senyum. Tentu saja itu jumlahnya bercanda.
Keluarga ini terdiri dari Tio Ariel Briones, tia Divine, dan tiga anaknya, Yosef, Niel, dan Sandrino (Semoga saya tidak salah menuliskan nama anak-anaknya), serta lola (nenek mereka). Yosef anak pertama di keluarga ini. Usianya 17 tahun. Lalu Niel yang sedikit pemalu, serta Sandrino yang paling kecil. "Wow nice name Sandrino," ujarku.
Lantas, saya pun mencandai Sandrino. Bahwa Sandrino itu nama lain dari Sandrina apabila ia terlahir sebagai seorang perempuan. "Sandrino, please asking your parent, do they expected you born as an girl? How came they named you Sandrino?" tanyaku. hahaha. Kami semua tertawa di meja itu.
Keluarga ini bahagia sekali. Saya senang melihatnya. Meski mereka tidak punya anak perempuan, tapi mereka menyebutkan itu tak jadi masalah. "Mama menjadi yang tercantik di rumah," ujar Yosef.
Tawa kembali menggema ketika sang ayah menyebut namanya Ariel. "Tio, tahukah kamu Ariel itu nama seorang aktor, vokalis band terkenal di Indonesia," ujarku merujuk pada Ariel dari band Noah.
Suasana di meja makan sekaligus ruang baca penginapan saat itu, sangat cair sekali.
Perbincangan pun berlanjut tentang kawasan wisata di Filipina. If God will, saya berencana mengunjungi Pilipina tahun ini. Mumpung mereka berasal dari San Pablo, Manila, saya pun menanyakan apa saja tempat wisata yang wajib kunjung di sana. Kami sempat membahas Palawan, Cebu, Puerto Princesa, dan kawasan lainnya yang menurut mereka aman dan friendly buat turis atau pendatang seperti saya.
Tak lupa saya juga menanyakan kuliner lokal apa yang harus saya coba di sana nanti. Tentu saja selain Balut, penganan khas Pilipina berbahan embrio ayam. Masih suka merinding saya ingat bentuknya. Tio Ariel pun merekomendasikan Lechon. Sejenis menu babi guling yang dipanggang crispy yang di dalamnya ada nasi. _OK saya akan mencobanya nanti_
"Bagaimana dengan Halo-halo," tanya Yosef.
"What is that?"
"Itu sejenis tropical dessert. made from mix fruits, red bean, and crused ice," jawab Yosef.
"Oh, i think Indonesia juga punya itu. We called it Es teler," ujarku.
Mendengar cerita mereka, saya makin nggak sabar untuk segera berkunjung dan kulineran ke negerinya Corazon Aquino ini.
Tiba-tiba, tia Divine nyeletuk "Tapi kalau kamu ke Pilipina, orang akan menganggap kamu warga lokal. Wajahmu Filipino sekali," ujarnya.
"Apakah itu menguntungkan bagi saya? I mean, apakah masuk ke tempat wisata jadi gratis, begitu? then i'll love it. Saya bisa jadi Filipino," ujarku. Kami tertawa lagi.
PS: Salah satu yang saya suka dari perjalanan, menginap di hostel mixdorm dengan tamu multinegara adalah, semakin banyaknya peluang bagiku untuk menambah teman. Berbincang mengenai keunikan negara masing-masing, bahkan bisa belajar bahasa lokal. Punya banyak teman multinegara itu baik. Membuka wawasan sehingga kita semakin berpikiran terbuka dan yang terpenting respect one another.
Oh ya, berikut Bahasa Tagalog yang kupelajari dari keluarga Briones dalam perbincangan singkat kami di Singapura:
Magandang umaga = Selamat pagi
Magandang gabi= Selamat malam
Salamat po= Terimakasih
Paalam = Sampai jumpa
Paalam Briones's Family. It was nice talking with you all. God bless. ***
Sat, April 13
"No, i'm Indonesian. Kalian dari Pilipina?," ujarku senyum.
"Ya kami dari Filipina. But you look like us, Filipino," ujar salah satu perempuan rekannya menimpali.
Mereka keluarga. Celia, Rodrigo, dan satu lagi perempuan, lupa namanya. Dua perempuan ini sudah berumur. "How to say Aunty in Tagalog?" tanyaku.
"Tiya (tia) for aunty, Tiyu (tio) for uncle," ujar Celia.
"Then, let me call you both Tia. Hi Tia Celia," ujarku, yang lantas mereka respon dengan 'hi' lalu tertawa. Malam itu, suasana kamar terlihat akrab. Perbedaan kewarganegaraan hanya berbatas benang tipis. Apalagi, wajah saya sangat mendukung menjadi seorang Pinoy kata mereka.
Sebenarnya, pertanyaan ini sudah sering dialamatkan ke saya. Tahun 2013 sewaktu traveling di Ho Chi Minh, saat hendak membeli kopi di toko kopi yang tersohor di kawasan Pham Ngu Lao. Saat asyik mencium masing-masing aneka jenis kopi dari kalengnya, tiba-tiba seorang pria menyapaku dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Terang saja, saya nggak ngeh itu ditujukan kepadaku dan asyik saja membaui kopi. Hingga akhirnya ia mencolekku lantas bertanya " Sorry, are you Filipino?".
"No, i'm not. Saya orang Indonesia," ujarku.
"Oh i'm so sorry, saya kira kamu orang Filippina. Saya sempat bertanya ke kamu tadi dalam Bahasa Tagalog. Kamu tak merespon. Saya menganggap sombong sekali. Makanya saya colek kamu. Maaf banget," ujarnya dengan Bahasa Inggris terbata-bata dan merasa bersalah.
"Oh it's OK. Never mind," ujarku merespon sambil senyum.
"Tapi kamu mirip sekali dengan orang Filippina. Seriusan bukan Pinoy?" _Ya elah ini orang ngotot banget. Apa perlu saya keluarin paspor? hahaha_
Lalu si pria tersebut mengungkapkan, ia pernah ke Indonesia. "Jakarta and Bandung. Tapi saya lebih suka Bandung. Ini t-shirt saya beli dari Bandung," ungkapnya yang lantas saya respon, "oh really? What do you think about my country?"....
Di perjumpaan sekarang, setiap tugas ke Singapura, kalau nggak dianggap orang Pilippina, pasti saya dianggap juga orang Thailand. Ya sudahlah ya. Kan memang tipikal orang di Asia Tenggara itu ya pada dasarnya mirip kan?
Nah, Sabtu siang keesokan harinya di penginapan. Menunggu check out, saya memilih minum kopi dulu. Penginapan itu menyediakan free tea and coffee sepanjang hari. Saya duduk. Mengambil novel berjudul A Legacy of Spies karangan John Le Carre dari rak. Novel ini menarik perhatianku, karena sinopsisnya berbau misteri dan spy thriller begitu.
Tiba-tiba, dengan terburu-buru, satu keluarga datang membawa bungkusan plastik. Terdiri dari ibu, ayah, nenek, dan tiga anak prianya. Mereka tamu dari Pilipina juga. Tentu saja ini saya tahu setelah berkenalan dengan mereka.
"Early lunch?" sapaku.
"Ya, kami mau check out sebentar lagi. Makan dulu sebelum kembali pulang ke Pilipina. Penerbangan sore nanti," ujar sang ayah.
Seperti biasa, dalam perbincangan ini, mereka mengira saya orang Pilipina. "Are you Filipino?" tanya tia Divine. "No i am not. Saya dari Indonesia," ujarku.
"Oh saya kira kamu orang Pilipina," tanyanya lagi.
"You are the one millionth person who says that i am Filipino," ujarku senyum. Tentu saja itu jumlahnya bercanda.
Keluarga ini terdiri dari Tio Ariel Briones, tia Divine, dan tiga anaknya, Yosef, Niel, dan Sandrino (Semoga saya tidak salah menuliskan nama anak-anaknya), serta lola (nenek mereka). Yosef anak pertama di keluarga ini. Usianya 17 tahun. Lalu Niel yang sedikit pemalu, serta Sandrino yang paling kecil. "Wow nice name Sandrino," ujarku.
Lantas, saya pun mencandai Sandrino. Bahwa Sandrino itu nama lain dari Sandrina apabila ia terlahir sebagai seorang perempuan. "Sandrino, please asking your parent, do they expected you born as an girl? How came they named you Sandrino?" tanyaku. hahaha. Kami semua tertawa di meja itu.
Keluarga ini bahagia sekali. Saya senang melihatnya. Meski mereka tidak punya anak perempuan, tapi mereka menyebutkan itu tak jadi masalah. "Mama menjadi yang tercantik di rumah," ujar Yosef.
Tawa kembali menggema ketika sang ayah menyebut namanya Ariel. "Tio, tahukah kamu Ariel itu nama seorang aktor, vokalis band terkenal di Indonesia," ujarku merujuk pada Ariel dari band Noah.
Suasana di meja makan sekaligus ruang baca penginapan saat itu, sangat cair sekali.
Perbincangan pun berlanjut tentang kawasan wisata di Filipina. If God will, saya berencana mengunjungi Pilipina tahun ini. Mumpung mereka berasal dari San Pablo, Manila, saya pun menanyakan apa saja tempat wisata yang wajib kunjung di sana. Kami sempat membahas Palawan, Cebu, Puerto Princesa, dan kawasan lainnya yang menurut mereka aman dan friendly buat turis atau pendatang seperti saya.
Tak lupa saya juga menanyakan kuliner lokal apa yang harus saya coba di sana nanti. Tentu saja selain Balut, penganan khas Pilipina berbahan embrio ayam. Masih suka merinding saya ingat bentuknya. Tio Ariel pun merekomendasikan Lechon. Sejenis menu babi guling yang dipanggang crispy yang di dalamnya ada nasi. _OK saya akan mencobanya nanti_
"Bagaimana dengan Halo-halo," tanya Yosef.
"What is that?"
"Itu sejenis tropical dessert. made from mix fruits, red bean, and crused ice," jawab Yosef.
"Oh, i think Indonesia juga punya itu. We called it Es teler," ujarku.
Mendengar cerita mereka, saya makin nggak sabar untuk segera berkunjung dan kulineran ke negerinya Corazon Aquino ini.
Tiba-tiba, tia Divine nyeletuk "Tapi kalau kamu ke Pilipina, orang akan menganggap kamu warga lokal. Wajahmu Filipino sekali," ujarnya.
"Apakah itu menguntungkan bagi saya? I mean, apakah masuk ke tempat wisata jadi gratis, begitu? then i'll love it. Saya bisa jadi Filipino," ujarku. Kami tertawa lagi.
PS: Salah satu yang saya suka dari perjalanan, menginap di hostel mixdorm dengan tamu multinegara adalah, semakin banyaknya peluang bagiku untuk menambah teman. Berbincang mengenai keunikan negara masing-masing, bahkan bisa belajar bahasa lokal. Punya banyak teman multinegara itu baik. Membuka wawasan sehingga kita semakin berpikiran terbuka dan yang terpenting respect one another.
Oh ya, berikut Bahasa Tagalog yang kupelajari dari keluarga Briones dalam perbincangan singkat kami di Singapura:
Magandang umaga = Selamat pagi
Magandang gabi= Selamat malam
Salamat po= Terimakasih
Paalam = Sampai jumpa
Paalam Briones's Family. It was nice talking with you all. God bless. ***
Sat, April 13
Aku baru sekali ke Manila, memang sih bnyak yg tiba2 ngomong pakai bahasa mereka. Mungkin mikir saya juga orang lokal hehehe
ReplyDeleteMostly, wajah kita orang Indonesia, Cambodia, Pilipina, Thailand, mirip2 kak.
DeleteAku ikut bahagia membaca percakapan di meja makan itu
ReplyDeleteRasanya hangat sekali di hati
Menyenangkan ya bertemu orang banyak dari berbagai etnis
Gpp dianggap orang Filipina mbak
Berarti memang wajahnya unik :)
Bener mbok Putu.. Selalu menyenangkan memang ketika beremu orang-orang baru yang baik.
DeleteHaha, wajah saya unik memang.. unik khas Batak.
Hehe iya seru juga kalau di Mix dorm, pernah accident dl terpaksa di mix dorm waktu di jaipur, awalnya serem2 gimana gitu eh ternyata pada humble banget dna akhirnya kita merayakan holi bareng seru2an, seru nya dunia traveling
ReplyDeleteNah, seru kannnn.. Tapi tetap kudu hati2 juga. Selalu awas dan waspada. hehe
Deleteseru juga disangka Pinoy ya..
ReplyDeletebtw katanya bahasa Tagalog banyak miripnya sama bahasa Batak, iya nggak sih ?
Wakakaka.. ga seru-seru amat sik kak Mon. Biasa saja.
DeleteIya benar, Tagalog banyak kemiripan sama Bahasa Batak.
Misalnya arti kata Tumatangis (Tagalog dan Batak) ya itu artinya menangis atau selalu menangis dalam Bahasa Indonesia.
Waah..kayak ketemu keluarga baru ya mbak. Senangnya kalo travelling ketemu teman baru dengan aneka cerita.
ReplyDeleteIya mbak. Senang.
DeleteHai mbak. Seru ya pengalamannya. Saya malah ga gitu paham orang Filipina seperti apa. Mungkin kalo ketemu pun Saya pikir dari Singapura karena mirip-mirip juga ya..hehe
ReplyDeleteHi mbak. Salam kenal.
DeleteApa karena wajah orang asia tenggara hampir mirip-mirip ya mbak?
ReplyDeletehahaha
Nah itu dia.. mirip sik.
DeleteOh, iya banget. Orang Indonesia sering banget dikira orang Filipina. Kadang dikira orang Thailand atau Kamboja (saya, nih). Tapi kok gak pernah dikira orang Malaysia, ya?
ReplyDeleteKujuga heran ya mbak. Kok jarang banget dikira Orang Malaysia. Dulu di Jepang saya malah dianggap orang India. Dikira Indonesia itu sama kaya India. wkwk
DeleteMemang wajah Indo & Pinoy hampir mirip ya.. Senang membaca pengalaman ketemu teman2 baru begini mba ..
ReplyDeleteIya mirip mba.
DeleteKursus kilat bhs Filipina dong. Bisa dicoba tuh kalau ke Filipina, masuk ke tempat wisata harga lokal. Asal ditemenin warga setempat, Chaycya ngintil aja. Hehe...Pernah soalnya kami ke Malaysia. Kemana-mana dianter teman yg warga lokal, dan masuk ke obyek wisata pun ngaku orang sana aja.
ReplyDeleteRencananya tante. Saya mau belajar Bahasa Tagalog dasar deh mana tahu di Pilipina nanti traveling gratisan. wkwkwk
DeleteSeru banget bisa kenalan sama keluarga Pinoy begitu. Jadi bisa tau banyak ya Mba. Juga belajar banyak.
ReplyDeleteIya benar mbak. Jadi tambah teman dan selalu belajar hal-hal baru yang tidak kita temui di sekolah.
DeleteAku juga penasaran nih pengen ke Filipina. Baca artikel ini kok tambah pengen. *brb cek harga tiket
ReplyDeleteAyoklah mba Din. Tandem ke Pilipina yuk.
DeleteMabuhay Tia Chahaya.. kalau liat di foto barengan emang mirip. Kirain keluarga nya. Hahahaa
ReplyDeleteMabuhay kang Aip.
DeleteSet dah, tua banget eijk dipanggila tia.
Iya itu keluarga baruku. hwahaha
Jadi sering dituduh pinoy ya mba hihi seru bacanya..jadi nambah teman kalau tinggal di dorm ya .
ReplyDeleteIya neh mbak. Tapi gapapa deh.
DeleteAhaha, Filipino 😂
ReplyDeleteKalau saya pasti dikira bukan orang dari Asia, maklum, lumayan hitam. Ahahaha
Soal mix dorm, saya juga suka menginap di tempat ini. Tapi alasan utamanya itu karena murah. Ahahaha
Klo kak Darius mah dikira dari Amerika latin atau Afro-Amerika. hahahah
DeleteOh tentu saja itu alasan utama saya. PIlih mixdorm supaya lebih murce. *turishemat
Ah saya jadi ingat teman saya waktu kerja di Taiwan. Janette, dia juga seorang Filipina. Tapi karena lama bersama saya, dan suka saya ajak kalau liburan, eh dia yg jadi pintar bahasa Indonesia. Bahkan bahasa Jawa!
ReplyDeleteSelalu senang ya mbak kalau punya pengalaman dan punya teman lintas negara.
DeleteSebagai orang asia tenggara, muka kita emang rancu ya mbak,
ReplyDeletesaya selama ke singapore, malaysia, brunei, thailanda dan kamboja juga sering disangka orang lokal sana.
malah pas main ke thailand bisa masuk ke Wat Pho gak bayar karena petugasnya mengira saya orang lokal, fotografer atau mahasiswa fotografi gitu karean monda-mandir foto-foto sendirian wkwkwkwk..
malahan jadi lebih seru ya kalau sering disangka orang lokal, sering dapat harga lokal euy..
oh ya di thailand beberapa orang juga sempat mengira saya orang filipina.. emang di filipina ada muslim yang jilbaban juga ya??
Belum pernah ke filipina sih, tapi sudah direncanakan mau kesana. semoga secepatnya bisa bisa membuktikan nih wajah bisa dapat harga lokal gak ya disana. wkwkwkwk
Nah, salah satu keuntungan kita wajah-wajah Asia Tenggara ini ya ini: dianggap lokal dan selalu gratis masuk ke tempat wisata *i hope.. hahaha
DeleteIya di Pilipina bagian Selatan,di kawasan Moro, mayoritas muslim mbak. Banyak juga yang berjilbab.
Menarik ya Mbak kalau saat traveling bisa ketemu dengan orang baru. Kalau melihat foto paling atas memang mirip-mirip, sih. Jadi udah kayak foto keluarga :D
ReplyDeleteSEbelum pakai kerudung, aku sering disangka Vietnam. Mungkin karena bentuk mata yang cipit ini hehehe
ReplyDelete