Terminal Wisata Grafika Cikole (TWGC) Lembang. |
KALI ini,ingin berbagi pengalaman menginap di Terminal Wisata Grafika Cikole (TWGC) di Desa Cikole. Salah satu kawasan wisata di Lembang, Bandung itu menjadi tempatku dan rekan-rekan untuk seru-seruan dan bahkan kedinginan saat malam tiba selama tiga hari dua malam di minggu kedua, Februari lalu.
Be careful what you wish for. Setidaknya pernyataan itu ada benarnya bagiku. Kala stres melanda setelah hampir sebulan bertugas di Jakarta, sepulangku ke mess di kawasan Kebun Jeruk, saat persiapan tidur, tetiba berangan-angan: ingin banget refreshing ke suatu tempat yang sejuk, yang tak ada jaringan internet dan telepon, dan ingin istirahat di sana dalam beberapa hari sampai tubuh ini siap kembali menghadapi 'gila'nya ibu kota negara.
Selang delapan jam kemudian, angan-angan itu menjadi nyata. Saya mendapat travel on assignment ke Bandung selama tiga hari. "What? is it real? baru juga tadi malam berangan-angan, eh tetiba dapat penugasan". OK fine. Tiga hari kemudian saya berangkat. Bersama rombongan dan para jurnalis dari Jawa Pos, AFP, dan media lainnya, kami berangkat menggunakan jalur darat dari Jakarta.
Selang delapan jam kemudian, angan-angan itu menjadi nyata. Saya mendapat travel on assignment ke Bandung selama tiga hari. "What? is it real? baru juga tadi malam berangan-angan, eh tetiba dapat penugasan". OK fine. Tiga hari kemudian saya berangkat. Bersama rombongan dan para jurnalis dari Jawa Pos, AFP, dan media lainnya, kami berangkat menggunakan jalur darat dari Jakarta.
Paling kiri duduk sejajaran denganku: Mba Gita Jawa Pos, mas dari Radar, bg Demi dari AFP, saya. |
Perjalan awal itu seru. Di bus menuju Lembang, kami langsung kompak satu sama lain meski itu baru perdana bertemu. Saya berkenalan dengan Mba Gita, jurnalis dari Jawa Pos. Tahu kami satu grup perusahaan, kami langsung dekat dan ngobrol ngalor-ngidul serasa kenalan lama.
Hampir 3,5 jam perjalanan menuju TWGC yang berlokasi di kaki gunung Tangkuban Perahu. Penginapannya berupa pondok yang 100 persen terbuat dari kayu. Letaknya di perbukitan tengah hutan pinus yang lebat. Sesuai namanya, penginapan ini terletak di Desa Cikole, sekitar delapan kilometer sebelum Gunung Tangkuban Perahu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.10 WIB saat kami tiba di sana. Meski perut belum terlalu lapar karena banyaknya ransum yang tersaji selama di bus, tapi udara sejuk khas dataran tinggi yang langsung menyerbu sesaat turun dari bus, membuat kami langsung menyantap menu khas tradisional Jawa Barat di restoran Sangkuriang, bagian dari kawasan ini.
Ada nasi liwet, tahu goreng dan ikan goreng yang disajikan dengan sambel goang dan sambel leunca. Ada juga kondimen pelengkap, yakni sayur asem yang menurutku asin sekali dan kuahnya juga hitam sehingga saya putuskan untuk tidak lanjut memakannya.
Gendang gendut suara kecapi, kenyang perut senanglah hati. Kelar urusan isi perut, maka kami pun dengan rasa senang meninggalkan restoran, dan bersiap menuju penginapan.
Oh ya, ada tiga tipe pilihan penginapan pondok wisata di TWGC ini, yakni tipe pinus tersedia enam kamar, damar empat kamar, dan cemara ada 18 unit. Mempertimbangkan jumlah kami yang banyak, meski harga dari tipe ini sama, akhirnya terpilihlah pemondokan Cemara.
Hampir 3,5 jam perjalanan menuju TWGC yang berlokasi di kaki gunung Tangkuban Perahu. Penginapannya berupa pondok yang 100 persen terbuat dari kayu. Letaknya di perbukitan tengah hutan pinus yang lebat. Sesuai namanya, penginapan ini terletak di Desa Cikole, sekitar delapan kilometer sebelum Gunung Tangkuban Perahu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.10 WIB saat kami tiba di sana. Meski perut belum terlalu lapar karena banyaknya ransum yang tersaji selama di bus, tapi udara sejuk khas dataran tinggi yang langsung menyerbu sesaat turun dari bus, membuat kami langsung menyantap menu khas tradisional Jawa Barat di restoran Sangkuriang, bagian dari kawasan ini.
Ada nasi liwet, tahu goreng dan ikan goreng yang disajikan dengan sambel goang dan sambel leunca. Ada juga kondimen pelengkap, yakni sayur asem yang menurutku asin sekali dan kuahnya juga hitam sehingga saya putuskan untuk tidak lanjut memakannya.
Gendang gendut suara kecapi, kenyang perut senanglah hati. Kelar urusan isi perut, maka kami pun dengan rasa senang meninggalkan restoran, dan bersiap menuju penginapan.
Oh ya, ada tiga tipe pilihan penginapan pondok wisata di TWGC ini, yakni tipe pinus tersedia enam kamar, damar empat kamar, dan cemara ada 18 unit. Mempertimbangkan jumlah kami yang banyak, meski harga dari tipe ini sama, akhirnya terpilihlah pemondokan Cemara.
Pondok wisata tempat saya menginap bersama lima rekan. |
Pondok Cemara ini yang paling besar di antara pemondokan lainnya. Masing-masing pondok terdiri dari tiga queen bed berkapasitas enam orang. Nah, dua malam itu, saya menginap bersama mba Gita, Mom Jo, Muti, Citra, dan mba Lia dari Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Suka banget sih dengan desain interiornya yang ala villa. Dari pintu masuk, naik dua tangga, langsung terpampang tiga bed size queen berlapiskan bedcover putih bersih ala hotel. Di dinding sebelah kiri ada televisi layar datar 32 inci, di bawahnya, meja kayu panjang berlaci tempat kami meletakkan barang-barang seperti tas, sepatu. Di salah satu sudut mejanya, sudah tersedia enam botol air mineral, empat sachet serbuk bandrek, dan kamar mandi dalam yang bersih dengan shower.
Sementara di ujung sebelahnya tersedia balkon dengan kursi bambu panjang yang langsung menghadap taman hutan pinus dengan rumah-rumah penginapan kecil ala kurcaci di berbagai celahnya. What a beautiful view in the middle of the forest.
Sementara di ujung sebelahnya tersedia balkon dengan kursi bambu panjang yang langsung menghadap taman hutan pinus dengan rumah-rumah penginapan kecil ala kurcaci di berbagai celahnya. What a beautiful view in the middle of the forest.
Tapiiii, ya namanya di hutan ya kan, di dataran tinggi lagi. Pastilah cuacanya dingin. Sore pukul 15.00 WIB saya cek suhu 20 derajat celcius. Untung ada matahari, jadi nggak terlalu dingin-dingin bangetlah, meski tetap saya sarankan pakai baju hangat sik.
Mom Jo sudah menyuruh kami untuk mandi segera, supaya nanti dinner ala ngeliwet di restoran yang ada di pinggir jalan raya Tangkuban Perahu tidak telat. "Ayo buruan mandi gih, soalnya ntar abis makan malam kita pesta api unggun," suruh mom Jo ke kami-kami yang masih gegoleran di kasur sambil selimutan.
Satu per satu, turunlah kami dari atas kasur. Kata pengelola sik, tersedia air panas. Benar tersedia. Tapi kan yang mandi enam orang, sementara kebutuhan air panas hanya bisa bertahan untuk dua-tiga orang saja. Maka jadilah yang tiga orang termasuk saya mandi dengan air dingin. Ngidinnnnnn warbiyasak. Tapi ditahan-tahanin deh. Masa iya dari Jakarta ampe Bandung nggak mandi? Mandilah.
Kelar mandi, kami semua turun ke restoran sekitar pukul 18.30 WIB. Ngeliwet tapi di atas meja. Keakraban makin terasa, apalagi diwarnai canda tawa. Malam makin larut, kami kembali naik ke penginapan. Jaraknya dari restoran, sekitar 350 meter dengan alur turun, naik, naik ke puncak gunung. Nggak langsung masuk pondok dong, karena malam itu kami mengadakan malam keakraban, berupa pesta api unggun ditemani jagung bakar dan martabak. Seru-seruan main kuis, ngakak bareng, nyanyi bareng meski ya you knowlah ya, suara sik pas-pasan mendekati teknik vokal Anggun, yang penting kami nyanyi bersama. _kepedean_
Mom Jo sudah menyuruh kami untuk mandi segera, supaya nanti dinner ala ngeliwet di restoran yang ada di pinggir jalan raya Tangkuban Perahu tidak telat. "Ayo buruan mandi gih, soalnya ntar abis makan malam kita pesta api unggun," suruh mom Jo ke kami-kami yang masih gegoleran di kasur sambil selimutan.
Satu per satu, turunlah kami dari atas kasur. Kata pengelola sik, tersedia air panas. Benar tersedia. Tapi kan yang mandi enam orang, sementara kebutuhan air panas hanya bisa bertahan untuk dua-tiga orang saja. Maka jadilah yang tiga orang termasuk saya mandi dengan air dingin. Ngidinnnnnn warbiyasak. Tapi ditahan-tahanin deh. Masa iya dari Jakarta ampe Bandung nggak mandi? Mandilah.
Kelar mandi, kami semua turun ke restoran sekitar pukul 18.30 WIB. Ngeliwet tapi di atas meja. Keakraban makin terasa, apalagi diwarnai canda tawa. Malam makin larut, kami kembali naik ke penginapan. Jaraknya dari restoran, sekitar 350 meter dengan alur turun, naik, naik ke puncak gunung. Nggak langsung masuk pondok dong, karena malam itu kami mengadakan malam keakraban, berupa pesta api unggun ditemani jagung bakar dan martabak. Seru-seruan main kuis, ngakak bareng, nyanyi bareng meski ya you knowlah ya, suara sik pas-pasan mendekati teknik vokal Anggun, yang penting kami nyanyi bersama. _kepedean_
Latihan koor eh belajar vokal untuk pesta api unggun yang sukses. |
Oh ya, by the way, kayu dan jagung bakar untuk api unggun-an ini sudah disediakan langsung pengelola TWGC. Ini sudah termasuk fasilitas dari harga paket yang kami pilih.
Demikian juga sarapan pagi dengan menu ala hotel di pendopo di tengah hutan. Saya paling suka sarapan pagi di sini. Atmosfir sejuknya khas pedesaan di kaki pegunungan Tangkuban Perahu sambil menikmati aneka menu pilihan ala prasmanan di ruang terbuka, sangat menggambarkan alam yang masih selaras, sejuk dan harmoni diiringi suara burung-burung dari entah. Tak ada hingar bingar dan polusi seperti di ibu kota negara sana.
Pesta api unggun pun mulai. Diawali perkenalan, dan dan berakhir dengan aneka permainan, kuis, dan keakraban yang hangat sambil menikmati jagung bakar. Hari pertama, kami berpisah, menuju kamar masing-masing. Apakah urusan hari itu kelar? Nyatanya enggak bagiku. Dinginnya malam usai jauh dari api, langsung merasuk tulang. Semua pada tidur meringkuk.
Saya juga mencoba tidur meringkuk supaya tetap hangat. Malah makin dingin. Aduh bagaimana ini? bibir langsung kering, tengkuk hingga telinga dan kaki sangat super duper dingin. Padahal sudah memakai selimut, kaus kaki, hoodie tebal, dan syal, serta membalurkan minyak kayu putih ke tubuh sebelumnya. Tetap saja dingin. Cek aplikasi Weather di ponsel. What? 11 derajat Celcius. Oh God, panteslah dingin. Lembang bisa sedingin ini? Sudah kaya musim gugur, musim dingin di Jepang saja.. hiks.
Waduh, kalau ini saya biarin, bisa hipotermia neh. Umumnya, otak merespon dengan normal itu saat suhu tubuh berada di titik termonetral antara 36,50-37,5 derajat Celcius. Lha, ini saya sudah kedinginan parah begini, buka selimut saja sudah tak mampu, berarti otak mengirim sinyal ke tubuh supaya dihangatkan segera. _Bang, adek butuh kehangatan bang (ngigau)_
Saya juga mencoba tidur meringkuk supaya tetap hangat. Malah makin dingin. Aduh bagaimana ini? bibir langsung kering, tengkuk hingga telinga dan kaki sangat super duper dingin. Padahal sudah memakai selimut, kaus kaki, hoodie tebal, dan syal, serta membalurkan minyak kayu putih ke tubuh sebelumnya. Tetap saja dingin. Cek aplikasi Weather di ponsel. What? 11 derajat Celcius. Oh God, panteslah dingin. Lembang bisa sedingin ini? Sudah kaya musim gugur, musim dingin di Jepang saja.. hiks.
Waduh, kalau ini saya biarin, bisa hipotermia neh. Umumnya, otak merespon dengan normal itu saat suhu tubuh berada di titik termonetral antara 36,50-37,5 derajat Celcius. Lha, ini saya sudah kedinginan parah begini, buka selimut saja sudah tak mampu, berarti otak mengirim sinyal ke tubuh supaya dihangatkan segera. _Bang, adek butuh kehangatan bang (ngigau)_
Last day at TWGC Lembang in Bandung. |
Tapi emang ya, ide kreatif selalu muncul di saat mendesak. Hoodie biru yang tadinya saya pakai dari Jakarta, saya ambil dari tas, sementara yang saya pakai malam itu hoodie merah. Entah ide muncul darimana, langsung saya fungsikan sebagai lapis celana. Fungsinya berubah. Kaki di kepala, kepala di kaki. Bodo amatlah yang penting hangat. Bagian dalam hoodie yang tebal dan emang didesain untuk musim dingin lumayan mampu menutupi suhu ekstrim dini hari itu. Ah ini Lembang rasa Eropa di musim dingin!!!
Minum bandrek di pagi hari setelah kedinginan parah malamnya. |
Paginya, bangun dari tidur, semua pada bilang "Gile dingin banget,". Nah lho!!!. Saya yang masih baring, buka selimut dan langsung memperlihatkan penemuan tergila zaman ini, dimana hoodie bisa berfungsi sebagai celana. Keren lagi!!! Disambut ketawa semua. Mom Jo "Iya ih, dingin parah," ujarnya.
Belajar dari pengalaman di hari sebelumnya. Di hari kedua, saya langsung mengajukan diri untuk jadi yang pertama mandi usai minum bandrek. Biar kebagian air panas gitu. Namun, mom Jo mendadak kebelet panggilan alam, ya sudah deh biar mom Jo yang sekalian mandi duluan. Lalu saya. Mandi dengan air panas pun sukses pagi itu.
Pokoknya, pengalaman menginap di sini seru sik. Dan lagi, meski berada di tengah hutan, TWGC ini memiliki aneka fasilitas kece. Mulai dari wahana outbond yang lengkap, jalur tracking yang enggak licin, hingga tamannya yang didesain kece dan senatural mungkin. Kalau jomblo menilainya, cocok untuk lokasi Pre-Wed outdoor gitu sik. *bhak.
Belajar dari pengalaman di hari sebelumnya. Di hari kedua, saya langsung mengajukan diri untuk jadi yang pertama mandi usai minum bandrek. Biar kebagian air panas gitu. Namun, mom Jo mendadak kebelet panggilan alam, ya sudah deh biar mom Jo yang sekalian mandi duluan. Lalu saya. Mandi dengan air panas pun sukses pagi itu.
Pokoknya, pengalaman menginap di sini seru sik. Dan lagi, meski berada di tengah hutan, TWGC ini memiliki aneka fasilitas kece. Mulai dari wahana outbond yang lengkap, jalur tracking yang enggak licin, hingga tamannya yang didesain kece dan senatural mungkin. Kalau jomblo menilainya, cocok untuk lokasi Pre-Wed outdoor gitu sik. *bhak.
Mushola |
Suasana malam hari saat kembali ke pondok. |
Oh ya, paket yang kami nikmati di TWGC ini adalah paket Glamcamp alias glamour camping. Cuma, karena pertimbangan ada anak kecil, maka jadilah kami mengikuti paket glamcamp mulai dari outbond, trekking, campfire, hingga aneka menu dan fasilitasnya. Namun tetap, nginapnya ala pondok desa. hahaha ***
Fact:
Fact:
- Lokasinya sangat asri. Tersedia juga arena camping keluarga, dan camping bawa tenda sendiri.
- Sudah terdapat toilet umum dan musola di beberapa titik area
- Dilengkapi Sekuriti ronda 24 jam
- Masing-masing tipe penginapan mempunyai staf yang bertugas 24 jam
- Harga pondok penginapan kami sekitar Rp 1,4 juta/malam (include tax dan service)
- Lokasinya di Jalan Raya Gunung Tangkuban Perahu, KM 8, Desa Cikole, Lembang, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. (*)
Dari kapan-kapan mau ngajakin anak-anak ke Lembang enggak jai-jadi..alasan klasik dari suami, malesnya macetnya ke sana..tiap hari dah macet di Jakarta..hadeh
ReplyDeleteTapi bener deh mupeng, karena kapan hari tetangga ada acara kantor di TWGC ini, kata dia juga oke..
Tapi memang akses dengan kendaraan pribadi nyaman kan Mbak?
Wah thank you for sharing! Aku juga ada rencana ke sana tahun ini. Sekarang jadi tau harus nyiapin apa aja biar nggak kedinginan 😂
ReplyDeleteKayak gini nih yg aku suka, tempatnya dingiiiin :p. Krn aku ga kuat panas mba. Itu jg yg jd alasan, aku selalu traveling pas winter kalo ke negara 4 musim. Makin minus suhunya, makin seneng akunya :D. Kalo ke bandung, aku jg srgnya nginep di atas, biar ttp dingin :D. Lembang, dieng, ini kota2 favoritku kalo utk Indonesia :D. Karena dinginnya itu :p
ReplyDeleteTempatnya cantik banget ya Chay. Rumah-rumahnya atau villanya juga menarik. Seru ih piknik bareng begini.
ReplyDeletesaya ga kuat dingin
ReplyDeletepernah mandi air biasa di bandung saya menggigil
tangan sakit semua
akhirnya ga jadi mandi
klu nginap di hotel saya pastikan ada air hangat
btw...asyik ya acaranya
lokasinya juga instagramble
keren gitu ya kak tempatnya. jadi pengen ke sini. pohon pinusnya kayak di film breaking dawn
ReplyDeleteJadi kangen bandung Dan takuban perahu gegara cikole yang buat scary tapi lumayan menegangkan... Belum pernah camping disana tapi kelihatannya seru banget ya... Boleh Tak camping sendirian disana?
ReplyDeleteSeru bgts ya... Tempat tidurnya ramai2 ya.. Alamnya bikin mupeng dan cocok bgts utk melarikan diri dr kesibukan Kota...
ReplyDeleteHuaaaa Lembang! Aku betah banget di Lembang. Suka ama suasana dan hawa dinginnya. Baca ulasan tentang TWGC ini jadi pengen cobain juga deeh. Nyaman banget keliatannya.
ReplyDeletekalau dilihat dari foto nya saja, sudah terlihat jelas ciri khas dari bandung, terutama lembang
ReplyDeleteduhh kangen banget ke lembang, udah lah sejuk hawa nya, orang orang nya ramah, cewek cewek nya geulis
jadi inget kalau dulu pernah punya mantan di bandung, dan lalu melirik kekanan dan kekiri, sekiranya ada yang mengintai ketika aku menulis komentar ini ... hehehe
Baca tulisan ini aku jadi kangen dinginnya udara Bandung. Trus jadi ingin ke sana jugaaa.. Hehehe. Thanks for sharing, Kak!
ReplyDeleteaku belum pernah deh ke Lembang, padahal cuma selemparan koin aja.. haha.. kayanya tempatnya asik banget ya... jadi pengen deh kesana..
ReplyDeleteSeru sekali kegiatannya dan tempatnya juga bagus. Syahdu gitu ya dengan cuaca yang dingin hehe
ReplyDeleteSeru bangeet liburan nginep rame2 kayak gini ... bikin api unggun, seru2an nyanyi ..
ReplyDeleteKeren deh ..
Bikin mupeng aja nih kak, kemarin sih sempat ke Lembang, memang suasana di sana dingin banget, dinginnya kerasa sekali sampai ke tulang...
ReplyDelete