Thursday, December 22, 2016

Mamaku Pahlawanku

logo by Roy Tambunan


SAYA tak tahu persis kapan pertama kalinya memanggilnya mama. Yang jelas, beliau resmi menjadi ibuku, mamaku, maeku, saat aku dilahirkan secara normal 30 tahun lalu di sebuah kampung di Toba, bernama Balige.

Apa saya mulai memanggilnya mama sejak usia 1 atau 2 tahun? Ntahlah. Mamaku pun lupa. Dimaklumi, karena beliau melahirkan 8 anak secara normal, satu yang paling besar, abang kami, Marolop Gihon Palty Simanjuntak meninggal pada usia 7 bulan karena demam tinggi/step. Otomatis saya ga mungkin menuntut perhatian lebih supaya mama mengetahui jawabannya kala bertanya bukan? Cintanya terbagi-bagi pada kami, namun dengan porsi yang pas.
Mamaku, Nurhaida Nainggolan
Nyokap dengan our Mr President, Joko Widodo at TB Center.


Suatu ketika, setelah saya mampu mengingat, mama pernah dipapah naik mobil pick up, lemas, dibawa ke rumah sakit. Waktu itu dia baru melahirkan adikku Vitri. Saya sudah bisa merasakan kesedihan zaman itu. Tiap malam saya menangis karena mama tak di rumah. Hanya pisang goreng dan coklat seharga Rp100 yang bisa mendiamkanku. Lama mama dirawat di rumah sakit. Ada 2 bulan barangkali, sehingga adik saya yang baru lahir itu dirawat sama opung boru, mamanya mama.

Mamaku seorang pedagang. Pedagang kain lebih tepatnya. Pekerjaannya itu membuatnya pergi dini hari pulang malam setiap hari Senin, Selasa, Rabu, dan Jumat. Waktu kumpul keluarga kami sangat terbatas kala itu. Cuma Kamis, Sabtu, dan Minggu. Itu pun kalau mamaku ga pergi belanja ke Bukit Tinggi, Medan atau Siantar. Dia kuat, sekuat baja, bekerjasama dengan bapaku untuk menghidupi kami sekeluarga.

Apa kami menjadi anak yang kurang kasih sayang diantara orang-orang, tetangga yang bisa melihat mamanya, orangtuanya setiap hari setiap saat kala mereka pulang sekolah, pulang les atau habis bermain? Tidak!!! Karena sedari kecil orangtua kami sudah mengajari kami untuk mandiri bersama, menanamkan tanggung jawab kerja yang dicatat di kertas, ditempel di dinding ruang makan dan harus kami jalankan. Ada kalanya kami harus menunggu mereka pulang kerja dulu, lalu makan bersama dengan lauk tambahan yang dibeli dari pasar (kami sangat senang itu dulu), lalu sehabisnya bapak dan mama memeriksa PR, lalu kami ibadah kecil bersama di ruang tamu sebelum tidur. Dan saya baru merasa hasil dari itu sekarang. Mereka mendidik kami dengan kemampuan dan pengetahuan mereka dan itu baik.

Apa mama sebagai orangtua selalu mulus dalam mendidik kami anak-anaknya? Tidak. Kadang dia pemilih untuk anak-anaknya, membuat keputusan yang menurutnya bijak tapi nyatanya membuatku tak terima. Saya durhaka padanya? Bertengkar padanya? Saya memilih diam, mama pun diam. Kami sama-sama instrospeksi diri. Tentu itu setelah saya dewasa sekarang ini.
Foto pernikahan bokap dan nyokap 1978. 

Yang jelas, dari saya mulai kecil hingga sekarang, pengorbanannya pada kami anak-anaknya sangat luar biasa. Kuat menghadapi benturan keluarga, optimis menghadapi rumah tangga, berpengharapan pada Tuhan bahwa anak-anaknya pasti sehat, sukses, dan baik, semangat kala sakit, dan satu yang membuatku trenyuh dan menangis, pernah ada suatu masalah besar bagi kami di 2009, dia mengajari kami untuk kuat dan berserah pada Tuhan dengan nada tegar seolah tak terjadi apa-apa. Namun apa yang terjadi? Tanpa sepengetahuan kami semua, dia pergi ke kamar, duduk bertelut melipat tangannya dan menangis sesenggukan. Dia berdoa. Saya melihatnya, dan itulah menjadi titik balik saya untuk tak menuntut Tuhan lagi.

Dari situ saya belajar, di balik kekuatan seorang ibu ada kelemahannya. Di balik kelemahan seorang ibu, ada senjata yang menguatkannya, yaitu DOA. Ketekunan anak-anaknya itu hanya sebagai bonus.

Terimakasih mama.
Terimakasih telah melahirkanku,
Terimakasih telah membimbingku,
Terimakasih telah mengantarkanku ke tangga strata akademisi,
Terimkasih telah membawa namaku dalam doamu selalu,
Terimakasih atas ketegaran dan perjuanganmu,
Terimakasih atas segalanya.

Panjang umur dan sehat-sehat mae,
Biarkan saya mengikuti jejakmu menjadi ibu yang baik, kuat, dan bijaksana.
Kamu adalah panutanku, pahlawanku.
Anugerah terindah dari Tuhan bagiku memanggilmu mama.

Selamat hari ibu,
Happy Mothers Day mom, Ny Nurhaida Simanjuntak br Nainggolan (Op.Moses)

Bth, 22 Desember 2016.

4 comments:

  1. Selamat Hari Ibu! Kasih dan doa ibu sepanjang jalan menyertai kita, anak-anaknya :)

    Jadi, kapan jadi Ibu kak? *triggered*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Mas Akut,
      Amin. amin..amin... Semoga ibu kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.

      "Jadi, kapan jadi ibu kak?"--- Let me ask to God, He has made everything beautiful in its time.. *Bijak

      Delete
  2. Benar sekali.
    Para orang tua kita adalah para pahlawan bagi kita.
    Saya betul betul merasakan bagaimana orang tua berjuang untuk kita saat saya punya anak dan menjadi orang seperti halnya orang tua kita dulu.

    Thanks for sharing....

    ReplyDelete