(L-R) Mak Mah, me, dan Sinta dengan rambutan di hadapan. |
NAMANYA mak Mah. Umurnya 60 tahun. Dia istri dari Pak Amir, warga Kampung Pelam di Pulau Pemping, yang rambutannya kami borong sekeranjang hanya seharga Rp 50 ribu.
Pertemuan kami berawal dari RAMBUTAN KUNING yang rasanya semlohay manis tanpa masam yang saya beli disela-sela acara kunjungan redaksi kantor tempatku bekerja ke pulau yang bisa dijangkau 40 menit menggunakan pompong kayu (longtail boat), Sabtu (27/8) lalu. Mencicip manis dan juicynya rambutan kuning itu, tiga rekan tertarik mau beli dan saya tertarik mau beli lebih banyak lagi untuk dijadikan oleh-oleh ke Batam dan untuk rekan kantor yang tak ikut. Bertanyalah ke warga sekitar. "Kalau rambutan kuning, pak Amir itu punya kebun. Rumahnya kat Kampung Pelam. Nanti ada rumah lagi dibangun, nah naik ke atas bukit, kat situ rumahnya," ujar sang ibu yang berbaik hati kepada kami.
Perjalanan pun dimulai. Katanya sik dekat, dan memang benar dekat. Ada kali lebih kurang dua kilometer perjalanan bolak-balik (PP) *bhak. Tibalah rumah yang tengah dibangun, melewatinya 50 meter, di sebelah kanan, agak menanjak ke bukit, terlihatlah satu rumah panggung. Dua perempuan berumur, satu mengenakan baju kurung ungu motif bunga dan satu mengenakan daster pink. Dua-duanya berjilbab tengah duduk santai.
Pertemuan kami berawal dari RAMBUTAN KUNING yang rasanya
Perjalanan pun dimulai. Katanya sik dekat, dan memang benar dekat. Ada kali lebih kurang dua kilometer perjalanan bolak-balik (PP) *bhak. Tibalah rumah yang tengah dibangun, melewatinya 50 meter, di sebelah kanan, agak menanjak ke bukit, terlihatlah satu rumah panggung. Dua perempuan berumur, satu mengenakan baju kurung ungu motif bunga dan satu mengenakan daster pink. Dua-duanya berjilbab tengah duduk santai.
Istirahat sebentar. Lelah mennnn jalan kaki dari Desa Pemping ke Kampung Pelam. Mana cuaca panas lagi, lengkap idup kami!!! |
Meski tak yakin itu rumah Pak Amir sang pemilik rambutan, tak ada salahnya bertanya toh? "Permisi nek, bu. Kami mau mencari rumah pak Amir. Katanya dekat sini?" -- "Ya ini rumah pak Amir," jawab ibu berbaju kurung. Benar, saya dan rekan, Wenceu pun memanggil dua rekan lainnya yang lebih memilih menunggu di pinggir jalan sebagai ancang-ancang kalau rumah tersebut bukan rumah pak Amir. Boljug mereka, menghindari pendakian, padahal pada akhirnya harus mendaki ke rumah itu karena sesungguhnya, disanalah rumah pak Amir. Rasain!!!
Kami pun langsung menaiki tangga, salim tangan sebagi rasa santun sebagai pendatang, lantas tanpa basa-basi bilang "Bu, bentar ya, saya capek jalan kesini, numpang lepas penat sekelak" dan langsung baring di teras panggungnya. --"oh iya tak ape, silakan.. Lepas penat kejap dulu" ujar si ibu mempersilakan dengan ramah.
Kami menyampaikan tujuan datang kesana HENDAK MEMBELI RAMBUTAN kuning. Unlucky for us, udah diborong orang sak buah-buah mentah dalam pohonnya. Sempat mau balik arah, cuma, melihat ranumnya rambutan merah di kebunnya ditambah keramahan mak Mah, kami pun memutuskan membeli rambutan langsung dari pohonnya. Rp 2 ribu untuk 18 biji. Mennn bayangin berapa biji seharga Rp 50 ribu = sekeranjang (hitung aja sendiri). Tanpa tawar lho itu
Kami pun langsung menaiki tangga, salim tangan sebagi rasa santun sebagai pendatang, lantas tanpa basa-basi bilang "Bu, bentar ya, saya capek jalan kesini, numpang lepas penat sekelak" dan langsung baring di teras panggungnya. --"oh iya tak ape, silakan.. Lepas penat kejap dulu" ujar si ibu mempersilakan dengan ramah.
Kami menyampaikan tujuan datang kesana HENDAK MEMBELI RAMBUTAN kuning. Unlucky for us, udah diborong orang sak buah-buah mentah dalam pohonnya. Sempat mau balik arah, cuma, melihat ranumnya rambutan merah di kebunnya ditambah keramahan mak Mah, kami pun memutuskan membeli rambutan langsung dari pohonnya. Rp 2 ribu untuk 18 biji. Mennn bayangin berapa biji seharga Rp 50 ribu = sekeranjang (hitung aja sendiri).
Andai punya rumah dengan kebun luas berisi tanaman aneka pohon buah seperti di rumah mak Mah. Ada rambutan, jeruk kasturi, durian, kelapa dan cempedak. Aiiih maaak. |
Petik rambutan ke keranjang. |
Excited ala Wenceu alias Wenny Cahyasari Prihandina. Lidah ko itulah Wen hahaha. |
Di balik panen rambutan, kunjungan ini terasa bermakna. Mak dengan ramah menceritakan kesehariannya dan juga penyakit tulang yang lama ia derita. Bahkan naik turun tangga rumahnya saja ia harus berjuang.
Ada lagi yang bikin trenyuh kami empat dara yang mendengarkan, mak ini tak punya keturunan alias tak punya anak. Masa kecilnya dilahirkan di Pulau Pemping. Masa mudanya ia merantau ke Kuala Lumpur, Malaysia dan tinggal disana sebagai pekerja selama delapan tahun. Pulang, menikah dengan pak Amir dan tinggal di rumah panggung yang mereka tinggali hingga sekarang.
"Mak tak punya anak," ujarnya berkaca-kaca persis dengan tone saat ia menceritakan penyakitnya kambuh saat Lebaran lalu hingga ia tak bisa berjalan dan bahkan kunjungan ke rumah saudara dan tetangga di pulau kecil itu terpaksa ia lewatkan.
"Makanya kadang berpikir, kalau jatuh sakit, bapak lagi melaut cari sotong, mak sendiri? Ya Allah disitulah kepikiran tak ada yang urus...," ujarnya terbata.
"Untung mak punya suami yang baik" tambahnya lagi.
Mak Mah juga mengatakan, kehidupannya di masa tuanya ini, ia sering sendiri. Kala malam hari, pak Amir mencari sotong dan pulangnya siang keesokan harinya. Meski begitu, ia sangat mencintai suaminya. Segala perlengkapan pakaian, makanan dan minuman ia siapkan penuh cinta. "Makanya kalau mak lagi sakit, bapak makan apa? Mak ga bisa masak. Ke wc (toilet) saja harus dipapah. Untung suami perhatian, apalagi dia bisa urut, dia urut kaki mak," tambahnya.
Ah mendengar mak bercerita, betapa mak beruntung banget punya suami pak Amir. Demikian juga pak Amir beruntung banget beristrikan mak yang ramah, rapi dan pembersih.
Ah mak, apalah yang bisa saya berikan ke mak untuk membantumu menghilangkan rasa sakit di lututmu supaya tak bengkak lagi apabila engkau bolak-balik naik tangga turun ke dapur?
Meraih travel pocket dari dalam tas, mengambil sebotol kecil minyak kayu putih yang baru saya ambil dari kotaknya pagi itu sebelum menuju pulau, dan langsung memberikannya ke mak. " mak, kalau mak sakit lutut lagi, olesin ini minyak kayu putih ini aja mak. Ini asli dari Ambon saya beli Oktober tahun lalu, hangat kalau dipakai. Moga sembuh ya mak," ujarku.
Ia pun menerima dengan senang. Demikian juga suaminya yang excited pengen lihat minyak kayu putih dari Ambon itu. "Mana minyak dari Ambon? Alhamdulillah, terimakasih ya," ujar pak Amir.
"Sudah simpen di lemari. Terimakasih ya," ujarnya. Sama-sama mak. Terimakasih untuk kebaikan dan kehangatanmu.
Ada lagi yang bikin trenyuh kami empat dara yang mendengarkan, mak ini tak punya keturunan alias tak punya anak. Masa kecilnya dilahirkan di Pulau Pemping. Masa mudanya ia merantau ke Kuala Lumpur, Malaysia dan tinggal disana sebagai pekerja selama delapan tahun. Pulang, menikah dengan pak Amir dan tinggal di rumah panggung yang mereka tinggali hingga sekarang.
"Mak tak punya anak," ujarnya berkaca-kaca persis dengan tone saat ia menceritakan penyakitnya kambuh saat Lebaran lalu hingga ia tak bisa berjalan dan bahkan kunjungan ke rumah saudara dan tetangga di pulau kecil itu terpaksa ia lewatkan.
"Makanya kadang berpikir, kalau jatuh sakit, bapak lagi melaut cari sotong, mak sendiri? Ya Allah disitulah kepikiran tak ada yang urus...," ujarnya terbata.
"Untung mak punya suami yang baik" tambahnya lagi.
Mak Mah juga mengatakan, kehidupannya di masa tuanya ini, ia sering sendiri. Kala malam hari, pak Amir mencari sotong dan pulangnya siang keesokan harinya. Meski begitu, ia sangat mencintai suaminya. Segala perlengkapan pakaian, makanan dan minuman ia siapkan penuh cinta. "Makanya kalau mak lagi sakit, bapak makan apa? Mak ga bisa masak. Ke wc (toilet) saja harus dipapah. Untung suami perhatian, apalagi dia bisa urut, dia urut kaki mak," tambahnya.
Ah mendengar mak bercerita, betapa mak beruntung banget punya suami pak Amir. Demikian juga pak Amir beruntung banget beristrikan mak yang ramah, rapi dan pembersih.
Ah mak, apalah yang bisa saya berikan ke mak untuk membantumu menghilangkan rasa sakit di lututmu supaya tak bengkak lagi apabila engkau bolak-balik naik tangga turun ke dapur?
Meraih travel pocket dari dalam tas, mengambil sebotol kecil minyak kayu putih yang baru saya ambil dari kotaknya pagi itu sebelum menuju pulau, dan langsung memberikannya ke mak. " mak, kalau mak sakit lutut lagi, olesin ini minyak kayu putih ini aja mak. Ini asli dari Ambon saya beli Oktober tahun lalu, hangat kalau dipakai. Moga sembuh ya mak," ujarku.
Ia pun menerima dengan senang. Demikian juga suaminya yang excited pengen lihat minyak kayu putih dari Ambon itu. "Mana minyak dari Ambon? Alhamdulillah, terimakasih ya," ujar pak Amir.
"Sudah simpen di lemari. Terimakasih ya," ujarnya. Sama-sama mak. Terimakasih untuk kebaikan dan kehangatanmu.
Sekeranjang besar rambutan dari kebun mak Mah dan Pak Amir siap dibawa pulang ke Batam. |
Rambutan pun sudah tersusun di keranjang besar. Kami pun bahagia, karena ini menjadi kali pertama bagi kami berempat panen rambutan. Panen kelar. Keringetan banyak. Kami hanya jolok-jolok sebentar, lalu petik masukin ke keranjang. Pak Amir yang manjat rambutan, kami yang lelah petik dan menghitung, eh udah kelar menghitung sesuai harga, eh rambutan sisa yang dipetik malah disuruh bawa semua sama pasangan pasutri Melayu yang baik hati ini.
Tiga rekan (Anggi, Sinta, dan Weni) pun minta izin cuci muka, eh malah mandi. Setelah berpeluh panen rambutan, mereka memilih mandi untuk menyegarkan diri di rumah itu. Saya? memilih tak mandi karena masih keringetan dan memilih mengobrol lebih lama lagi dengan mak Mah. Ia pun sempat menawarkan kami makan di rumahnya yang rapi dan bersih itu. Namun hal itu kami tolak, karena sebelum perburuan rambutan ini, kami baru saja menikmati makan siang aneka seafood segar yang disuguhkan warga setempat di balai pertemuan Kelurahan Pemping, yang masuk ke Kecamatan Belakangpadang ini (Salah satu dari 12 kecamatan di Pulau Batam).
Sinta, Wenceu, mak Mah, and i saat hendak mau pulang. Terimakasih banyak mak. |
Sebelum pamit, kami minta izin sama mak Mah. Kelak kami berkunjung ke pulau ini lagi, kami bisa nginap di rumahnya. "Nanti masakin kami sotong ya mak, bye bye mak.. Sehat terus panjang umur. Assalamualaikum" ***
Empat perempuan di balik panen rambutan pulang ke Batam dengan senang hati. Helloooo Batam kami bawa oleh2 rambutan neh.. haha |
PS: Dalam perjalanan, mengunjungi suatu kawasan, posisikan dirimu bukan sebagi tamu, tapi sebagai orang lokal yang menyatu dengan warga sekitar. Act like a local.
Salam perjalanan.
mak oiiii....sekerannjang mapuluhrebu ajeeeee.....sedapnyeee, puasnyee
ReplyDeleteDear Agus Asad,
DeleteYoiiii Saaad.. Andai itu rambutan kami jual di pasar Jodoh.. Lumayan untungnya.. Hahaha
Yuk kesana.. Aduuuh warganya ramah2 banget.
Pohon rambutan nya pendek - pendek ya. tinggal petik di bawah
ReplyDeletePulau pemping itu lewat pelabuhan jembatan berapa kak? Baru denger ada pulau ini.
ReplyDeleteDear Batam Event,
DeletePulau Pemping itu sekitar 40 menit naik pompong dr Sekupang. Pemping ini masuk ke kecamatan Belakangpadang tapi jauh dr belakngpadang.. Hehe
Mudah2an rambutannya sampe ke tetangga sebelah
ReplyDeleteDear kak Rina,
DeleteHahahaha pastiiiii.. Sudah diamankan..
Dear visit Kepri,
ReplyDeleteAda yang pendek ada yang tinggi sampai harus manjat. Tapi banyak yg pendek juga.. Seru panen rambutan disana..
Love the sorry... keep up the awesome writing sis..
ReplyDeleteDear ko Batamliciouz..
DeleteThankyou so much for your support :)
Semangat banget kak Chay nulisnya. Pasti sambil ngemilin rambutan yaaaa...
ReplyDeleteDear Wenceu,
DeleteHahaha.. ih kok tahu Wen..