Foto ini saya abadikan setelah turbulensi. photo taken by Chahaya OS |
CUACA sejak malam
sebelum keberangkatan ke Bandung memang tak bersahabat. Hujan deras disertai
angin kencang berlanjut sampai pagi, seolah semesta turut bersekongkol
menyatukan suasana senada isi hati. Minggu pagi di 7 Februari, saya
memutuskan berangkat ke Bandung. Melihat langsung masa kritis ayah
pasca-operasi pengangkatan empedu dan penanaman selang di paru-paru
akibat asma turunan, bronkhitis akut dan pankreas yang membengkak.
Dua
hari sebelum keberangkatan, kembali duniaku digemparkan. Mendengar
kabar ayah kembali masuk ke ruang ICU karena mendadak kejang, kedinginan
dan kritis. Mama dan tante menangis memberitahukan kabar tersebut. "
Datanglah ke Bandung inang (panggilan sayang orang batak ke anaknya
perempuan). Asa bereng bapakmon di tikki ngoluna (biar sempat kamu lihat
bapakmu saat hidup," ujar mama tersedu-sedu lewat jaringan ponsel di telingaku. Duniaku kembali runtuh. Tanpa sadar, menyenderkan
kepala ke samping lemari lantas berujar "Tuhan, apa tahun ini Engkau
memanggil bapakku dengan cara seperti ini? Apa tahun ini saya tak punya
bapak?" Tangisku pecah. Tak kuhiraukan lagi suara tangis yang kuat di
kamar petak itu. Saya berseru-seru memanggil kata "bapa.. Pae.. Jangan
pergi, mohon sembuhlah". Tak peduli ada orang di luar mendengar.
Keluarga
gempar. Paling gempar dibandingkan bulan yang sama satu tahun lalu
ketika kami mendengar ayah jatuh sakit, mengalami stroke ringan.
Duniaku berkabut, tubuhku serasa ringan, lantas terjatuh dan berseru
"Tuhan, jangan ambil bapaku.. Saya belum membahagiakannya. Dia bersama mama belum menuai apa yang mereka tanam dengan air mata kepada kami
anak-anaknya. Mohon Tuhan..tolong" ujarku.
Tuhan menguatkanku..
Berangkat ke kantor dengan perasaan hampa. Di angkot, saya lantas
mencari penerbangan. Jumat tidak ada penerbangan available. Kuputuskan berangkat hari
Minggu, sekitar 13.45 menggunakan maskapai pesawat Lion Air.
Kak
Rini, tetangga sebelah kamar yang sudah kuanggap sahabat menguatkanku.
Dia sudah terlebih dulu kehilangan ayah. Kepadanya aku tak sanggup lagi
menahan sedihku, air mata yang kembali kutahan akhirnya tumpah. "Kak,
bapakku kritis. Aku belum siap kehilangannya. Sampai kapan pun". Dia
menenangkanku layaknya saudara.
Kuasa Tuhan bekerja mengirim orang-orang untuk menghiburku.
Jumat, 5 Februari 2016
Saya
bekerja dan datang ke kantor seperti biasa. Tangis pecah di angkot saat
kembali melihat foto ayah yang terbaring siap dibawa ke meja operasi.
Adik bungsu tampak melap matanya yang basah air mata sehabis mencium kening ayah.
Di sampingnya, tim medis tampak bersiap mendampingi ayah. Tangisku pun makin menjadi melihat foto tersebut. Kujadikan foto profil di laman Blackberry
Messenger (BBM)ku.
Di kantor, giliranku membaca listing laporan
berita dari para reporter di hadapan rapat editor. Sebagian rekan
editor tampak melihatku dengan was-was dan iba. Merasa aneh. Kenapa?
Lantas kata hatiku mengatakan "apa karena mereka melihat DPku di profil
BBM?". Saya tetap mencoba tenang seolah tak terjadi apa-apa. Hingga
kelar rapat editor pun, saat editing dan mengerjakan halaman pun saya
mencoba tenang meski pikiran berkecamuk, seribu satu kata-kata penguatan
untuk menenangkan. Namun, tetap saja air mata selalu menggenang, hingga
akhirnya beberapa kali ke kamar mandi untuk menumpahkannya dan
menutupinya dari kantor.
Tugas editor selesai. Saya memberanikan
diri minta izin langsung ke Pimred, bang Iqbal. Meski sudah menarik
nafas dalam-dalam supaya tetap tenang dan kalam, tetap saja saya
menangis dan butuh beberapa saat untuk minta izin. -Sebut saja saya
cengeng, saya tak perduli-. Bang Iqbal dengan berbaik hati
mempersilakan, dan saya merasa bersalah kepada reddpel Yahya Burlian
yang sudah duluan cuti. Probis benar-benar melompong tidak ada yang
urus. Simalakama. Antara keharusan dan tanggung jawab yang sama-sama
menjadi kewajiban. Dua-duanya sama-sama penting dan saya ingin sekali
melihat ayah yang terkulai lemah di RS.
Minggu,7 Februari 2016
Pukul 12.45 WIB, memasuki
ruang tunggu A8 di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam. Sejam lagi
sebelum penerbangan - berdasarkan jadwal berangkat yang tertera di atas tiket- setelah taksi membawaku meluncur dari rumah di
kawasan Baloi Indah.
Saya lupa membawa buku bacaan dan juga
headset bawaan ponsel. Itu artinya, alamat membosankan di atas pesawat.
Lantas mengutak-atik ponsel menjadi pekerjaan untuk membunuh waktu
sebelum keberangkatan.
Di luar, tatapan menuju landasan pesawat,
hujan gerimis belum juga berhenti. Langit tampak mendung. Waah bagaimana
terbang kalau begini? "Tuhan, lancarkan perjalanan hari ini," ujarku
dalam hati.
Benar saja, delayed tanpa pemberitahuan dari maskapai
pun terjadi. Satu jam. Saya maklum, penumpang lain sepertinya. Lihat
saja cuaca di luar sana.
Penerbangan yang harusnya 13.45, akhirnya berangkat pukul 14.50 WIB. Penumpang termasuk
saya pun dipersilakan naik pesawat. Hujan masih gerimis tapi tidak
sederas tadi. Cuaca? Awan kelabu masih menggantung di langit.
Khawatir?
Mencoba menghilangkan perasaan senewen dengan pikiran "diizinkan masuk
ke pesawat, berarti langit Batam dan Bandung layak terbang untuk
dilalui".
Saya duduk di bangku 25 A, itu artinya saya persis di
jendela, di belakang sayap. Tidak masalah, sudah biasa. Penerbangan
domestik dan internasional yang kulalui, -sepertinya- nasib
'menjodohkanku' dengan sayap pesawat. Dua penumpang di sebelahku seorang
mahasiswa tingkat satu jurusan Teknik di Universitas Pasundan, dan
seorang bapak setengah baya, penduduk Tasikmalaya. Saya sempat
berbincang dengan mereka.
Tiba-tiba, sekitar 40 menit setelah
terbang, tiba-tiba pesawat mengalami turbulensi. Seolah-olah jatuh,
berguncang hebat. Sontak duduk tegak, memperbaiki posisi dan memegang
dua sandaran kursi. Demikian juga si adik mahasiswa. Saya langsung
berdoa, memohon perlindungan. Turbulensi belum juga berhenti. Pesawat
memasuki awan pekat. Guncangan demi guncangan terjadi. Penumpang yang
tidur lantas terbangun. Lampu emergency terus menyala.
Doaku semakin
panjang, mulai takut berlebihan, mulai membayangkan segala kemungkinan
buruk yang terjadi, lantas mengingat tujuanku. "Izinkan aku melihat
ayahku. Biarlah pencobaan ini lalu daripadaku. Selamatkan dan
tangan-tangani kami seluruh penumpang dan awak kabin. Berikan cuaca
cerah ya Tuhan. Biarlah hikmat dan kebijaksanaan melindungi pilot dan
co-pilot. Suruh Roh Kudusmu melindungi kami," doaku berulang-ulang.
Sementara mahasiswa disampingku sudah keringat dingin. Dia menggigil
hebat lantas tertunduk sambil memejankan matanya, dan si bapak juga tak
kalah tegang.
Selesai? Belum.
Dua puluh menit sebelum
pendaratan, awak kabin sudah mulai melaporkan persiapan pendaratan. Bumi
Pasundan pun sudah terlihat dari langit. Semakin mendekat, bahkan
stadium Bandung sudah terlihat sangat dekat. Hujan deras dengan sesekali
goncangan ringan terjadi. Aliran air menyentuh kaca pesawat. Tiba-tiba
petir dan kilat bersahut-sahutan di kejauhan. Sontak, pesawat memutar
arah, naik menembus hujan dan awan mendung. Pilot dari ruang kabin
mengumumkan, terjadi pembatalan pendaratan di Bandung karena hujan deras
tidak memungkinkan untuk mendarat karena landasan licin dan jarak
pandang yang tidak memadai untuk pendaratan penerbangan. "Kita akan
berputar-putar dulu sampai informasi memungkinkan untuk melakukan
pendaratan di Bandara Husein Sastranegara Bandung" ucap sang pilot
melalui pengeras suara.
Persiapan pendaratan di Bandung. Photo taken by Chahaya OS |
Persiapan pendaratan yang disambut hujan deras dan kilat. Photo taken by Chahaya OS |
Penumpang tampak tegang. Selama 40 menit
berputar, hanya awan gelap yang terlihat hingga perasaan pesawat sudah
hampir melalui 32 ribu km di atas permukaan laut. Saya melihat awan mulai cerah dan terlihat langit biru, dan di
kejauhan garis langit dengan warna jingga tampak setitik menandakan sore akan segera berlalu. Saya melihat harapan, dan yakin
itu jawaban doa, Tuhan mencerahkan langit sehingga kami bisa mendarat di
Bandung.
Salah satu momen saat pesawat gagal mendarat di Bandung. Photo taken by Chahaya OS |
Pesawat mulai menurun, menukik turun berbelok ke arah kanan. Disaat itulah goncangan terjadi lagi. Awan-awan gelap kembali menjadi momok.
Sudah
2 jam 25 menit kami di angkasa. Belum ada tanda-tanda pendaratan.
Sementara awan makin hitam pekat. Meski pun terus menerus berdoa dalam hati, tapi saya belum
sukses mengalahkan rasa takut. Ketakutanku pun makin menjadi saat
melihat penumpang di sampingku menggigil terus menerus. Dia pucat pasi
karena takut berlebihan. Dia menggenggam sandaran kursi dengan kuat
sampai ruas jarinya membiru. Pasrah. Saya pasrah. "Suka-sukaMulah
Tuhan," ujarku berbisik.
Pengeras Suara pun kembali berbunyi dari
ruang navigasi. "Karena alasan situasional dan darurat, maka
penerbangan dialihkan ke bandara Internasional Soekarno Hatta. Maaf atas
ketidaknyaman ini, demi keselamatan bersama". Saya tertunduk lantas
menangis. Antara lega, bersyukur karena telah dibebaskan dari pengalaman
40 menit yang menegangkan di angkasa, dan tidak sabar ingin ketemu ayah
dan mama segera di RS Advent Bandung.
Selang 30 menit kemudian
atau sekitar pukul 17.55 Wib, kami mendarat di Bandara Soekarno Hatta di
Cengkareng. Merasa lega, biarlah jalan darat ke Bandung yang penting
selamat daripada harus terbang lagi dengan kondisi cuaca ekstrim. Masih
trauma dengan kejadian barusan. Turbulensi paling parah yang saya alami
dibanding penerbangan dari Singapura ke Phuket 2011 lalu dan penerbangan
dari Jepang ke Malaysia, November 2015 lalu. Kejadian penerbangan
Batam-Bandung kali ini membuat nyaliku ciut ditambah tujuan perjalanan
kali ini cukup menguras suasana hati. -laughing outside, crying inside-
Ternyata
eh ternyata, seluruh penumpang yang sudah bersiap turun tidak
diperbolehkan keluar dari pesawat. Dua bus Lion Air yang bersiap
menjemput pergi menjauhi pesawat. Penumpang disuruh duduk kembali.
Tanpa logistik, dua jam kami berada di pesawat, terparkir agak jauh dari
landasan utama bandara Soekarno Hatta.
Pukul 20.05, setelah
pesawat menyelesaikan pengisian bahan bakar avtur, oleh co-pilot,
mengumumkan ATC bandara Bandung sudah menginformasikan layak terbang.
Kami pun kembali terbang. Goncangan kecil tak kuhiraukan lagi,
keyakinanku usai berdoa, saya berserah. 25 menit kemudian, dengan
hempasan keras kami mendarat. Itu artinya saya dan penumpang lainnya
termasuk awak kabin mendarat dengan selamat meski pendaratannya tak
mulus. Namun tetap, saya bersyukur.
Hai Bandung, terimakasih Lion,
sekarang izinkan saya memeluk ayah yang terbaring lemah dengan selang
oksigen, luka panjang di perut yang terbalut kasa. Meski hati hancur,
jantung masih deg-degan, tapi saya bersyukur, saya telah memeluk ayah,
mengecup keningnya. Meski sakit dan jarum infus di tangannya, ia melap
air mataku. Trauma turbulensi penerbangan luntur seketika. Saya merasa
Tuhan hadir dan tersenyum melihat pertemuanku dengan ayah. Cepat sembuh
ayah. Tuhan beserta kita. ***
warm regards,
Catatantraveler-COS
(I thank God, thanks to all crew, pilot and co-pilot Lion Air JT 0950)
Sunday, February 07,2016: BTH-BDO
Nggak ngebayangin klo dian di posisi kak Chaycya, mungkin udah pingsan2 di pesawat,, serem bgt
ReplyDeleteSemoga ayahnya cepet sehat ya kak
Mba Dian Fernanda:
ReplyDeleteSaya juga kalau ingat itu masih suka bergidik. :)
Amin. Makasih mba Dian.
Terimakasih sudah mampir di lapak saya.. Hehe