Di kota ini, diagnosa dokter membuatku down. Tak terasa airmata menetes usai dokter mengucapkan diagnosa itu.
Ia pun memberikan tiga jenis obat, salah satunya anti biotik dengan pernyataan "silakan datang lima hari lagi, untuk cek. Ini harus diangkat sblm menyebar".
Keluar darisana, aku menarik nafas dalam2. Menguatkan diri sendiri. "Jangan cengeng, chaya seorang yang kuat. Ga mungkin lo mati krn ini. Mimpimu masih banyak, Nepal belum terjamah. Orang tuamu belum lo bahagiain. Semangat ah, itu ajah cengeng". Gumamku menguatkan diri.
Aku pulang, aku ceria di hadapan teman2ku, aku kerja seperti biasa dan masa bodo dengan kondisi itu. Satu lagi, sejak saat itu, kembali merefleksikan diri secara rohani.
Rasa sakit, tangan gatal pengen jamah dan ingin menangis selalu ada tiap saat. Tiap saat itu pula aku berdoa, "Oleh kuasa bilur2Mu, aku disembuhkan. Oleh belas kasihMu aku dipulihkan. Aku percaya dan mengimaninya".
Hingga tiba Minggu (24/8) sehabis pulang ibadah sore. Bertemu dengan rekan youth, lalu menanyakan kondisiku "eh itu kenapa?". Aku jawab "angin, ntar lagi juga ilang".
Tiba2, satu orang teman mengatakan "kak, itu benjolannya udah lama? Jangan dibiarkan. Itu kelenjar lo. Adek aku persis seperti itu, hanya selang empat bulan, dia meninggal. Coba periksa dan tangani deh kak".
Ibarat palu godam, kepalaku langsung puyeng. Rasa percaya diri yang kubangun "pasti sembuh itu" hancur seketika. Aku pun terbuka bagi mereka. Seniorku, kak erni dan era pun mengatakan akan membawakanku dalam topik doa malam ini. Kepada mereka, dengan hati yang hancur, aku masih sanggup berkata "aku percaya, diagnosa dokter itu salah. Ini pasti sembuh. Tak mungkin aku mati hanya karena ini". Pamit, aku pun pulang.
Di perjalanan, semua menggelayut. Diagnosa dokter, operasi, meja operasi yang membuat merinding. Takut. Seorang diri menangis di jalan, seolah tak menyentuh tanah.
Tiba di rumah, aku berlutut, hancur. "Tidak benarkan Tuhan, akan seperti ini. Ini pasti sembuhkan? Kalau memang ini jalanku untuk kembali ke hadapanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga" ujarku. Saat itu, aku memikirkan KPJ Johor Bahru, rute yang dekat.
Aku pun menghubungi orang tua, bermaksud diskusi. Maksud hati mau mengucapkan, aku ingin berobat ke Johor Bahru, nyatanya yang keluar dari mulut "ma, sepertinya benjolannya makin membesar, dan sakit. Apa kita bawa aja check ke Bandung? Biar amangboru yang tangani?". Sempat menggumam, lha kok ke Bandung??? Tapi ya sudahlah.
Mama pun mengatakan supaya aku langsung ngomong ke bapak aja. Aku pun mngirimkan foto kondisiku saat itu, dan saat itu juga diputuskan, "oke, mari berangkat ke Bandung. Aku dan mama akan kesana, kita sama2 berangkat ke Bandung".
Aku membantah. "Jangan, kita ketemu di jakarta saja. Darisitu kita bareng ke Bandung".
Orang tua pun setuju. Mereka langsung menghubungi tante di jakarta, koordinasi ke amang boru di Bandung, dan mengatakan "oke, datang saja".
Berangkat, tiba di Bandung. Amang boru disana pun sudah mempersiapkan segala urusan di RS advent Bandung. Nyatanya, tiba di rumahnya, sekaligus klinik tempatnya setelah pensiun dari Advent, amang boru dengan stafnya, yang juga saudara, Lipson langsung mengecek. Mereka berembuk dan kepada keluarga mengatakan "ini abses, bukan tumor. Tak perlu khawatir". Mendengar itu, dari meja operasi kliniknya, dalam hati, aku mengucap syukur. Terimakasih Tuhan. Mama juga demikian, wajahnya langsung sumringah.
Amangboru pun memberi dua opsi. Bisa di insisi di kliniknya, atau dioperasi besar di RSA, tapi dengan syarat harus opname dan dibuat tidur. Takut bius dan opname, aku memilih insisi/ operasi minor.
Dibius lokal, cairan disedot, lalu di cutter untuk mengeluarkan kapsul penahan cairan supaya tidak menyebar ke dalam tubuh.
Puji Tuhan, hanya sebentar saja. Tidak sampai satu jam. Praise the Lord, tak perlu opname. Hanya saja, saya diberi masa observasi tiga hari pertama melihat kondisi abses yang sempat terkapsul, dan harus kembali ke Bandung lagi.
Aku menunjukkan obat yang aku minum, yang diberikan dokter bedah di kota ini. Aku menunjukkan surat diagnosa. Amangboru Joseph, dokter ahli bedah yang mengoperasiku pun membantahnya. "Ini salah, harusnya jangan dikasih obat, soalnya, untuk penderita abses, obat anti biotik dan lainnya tidak berfungsi, karena area abses tak ada aliran darah, karena sudah terblock oleh jaringan di sekeliling area. Obat baru berfungsi setelah nanah hasil infeksi dan kapsul dikeluarkan". Oh Tuhan!! Sudah salah diagnosa, sia-sia juga minum obat.
Tapi kejadian ini membuatku bersyukur. Tuntunan tangan Tuhan, luar biasa bagiku saat mengalami ini. Jalanku bukan jalanNya. Tapi jalanNya sangat baik bagiku. Disaat aku berpikir ke Johor, Dia menuntunku ke Bandung.
Semua diagnosa di kota ini, terbantahkan disana. Aku pun sembuh. Puji Tuhan. Besar Kuasanya bagiku.
Aku teringat nats, yang aku baca saat refleksi sebelum tidur, Efesus 3:20: Dia melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan dan pikirkan". Thanks Lord. Besar dan ajaib perbuatanMu bagiku.
Chaycya,
Graha Pena, 8-09-2014
Hari pertama masuk kerja setelah operasi.
Post a Comment