Sudut Samosir F Chaycya |
Tidak banyak yang berubah dari alam Samosir ini, kita masih dimanjakan dengan hijau beningnya air danau yang tergradasi dengan pantulan warna hijau perbukitan yang mengelilingi pulau. Bukan hanya itu saja, hamparan sawah yang menguning, rumah adat batak Sopo yang masih dihuni warga lokal, hingga putihnya pasir di pantai masih menghiasi relung perjanalanku kali ini ke pulau yang terletak diatas pulau ini.
Perjalanan ke Samosir bisa ditempuh sekitar 5 jam dari bandara internasional Polonia Medan,Sumatera Utara, atau sekitar 2,5 jam dari bandara perintis Silangit, Tapanuli Utara lewat jalur darat dan dilanjutkan dengan naik kapal dari Parapat, atau bisa juga jalan darat via kawasan Tele, Sidikalang. Menuju Samosir, bersama tiga rekan, kami memilih lewat jalur Parapat, dari pelabuhan Tigaraja, kami menaiki kapal penumpang menuju pelabuhan khusus Tuktuk.
Selama 45 menit di kapal, tak hentinya mensyukuri indahnya karunia Tuhan yang luar biasa ini. Di hadapan mata terpampang perbukitan hijau, pemandangan aneka penginapan di pinggir danau yang sedang berbenah, hingga tebing batu, bagian dari bukit yang turut menyatu menyentuh jernihnya air di danau toba.
Take sesaat sebelum kapal penumpang merapat di pelabuhan khusus Tuktuk |
Disini, ada lebih dari 30 penginapan berbagai tipe yang sebagian besarnya terletak persis di pinggir danau, tersedia resort hotel, hingga guest house yang biasanya diminati para turis ala backpacker. Kami pun memilih penginapan Bernard's Guest House and Restaurant untuk beristirahat. Pelayanannya sangat ramah. Disini, turis dan warga lokal hidup membaur.
Di loby Bernard's Guest House and Restaurant, Tuktuk Siadong f Angeline |
Dari desa Tuktuk, kami mengendarai motor yang bisa dirental dari penginapan dengan membayar Rp80 ribu per hari, kami memulai penjelajahan mengelilingi Samosir, pulau ditengah danau toba yang terkenal hingga ke luar negeri sebagai kawasan wisata yang terbentuk dari gempa supervulkanik atau tepatnya letusan gunung toba, sekitar 50 ribu tahun yang lalu.
Kami menyinggahi beberapa desa, seperti desa Ambarita, disini, para penikmat pelesir bisa mengunjungi taman kursi batu Raja Siallagan atau yang terkenal dengan sebutan kursi sidang, yang membuktikan hukum kanibalisme dulu berlaku dalam sejarah kehidupan masyarakat Batak, bukan hanya itu saja, di bukit di pinggiran Ambarita ini, kita bisa melihat puluhan batu raksasa yang terganjal di perbukitan, di areal persawahan. Ini menjadi bukti sejarah betapa dahsyatnya dahulu gempa gunung toba. Hal ini juga yang kami temui di rumah doa di Perbukitan Pangururan, dimana altar rumah doa tersebut merupakan batu alam asli peninggalan dari gempa.
Gereja HKBP Ambarita di lereng Bukit Samosir f Chaycya |
Samosir dari kawasan Pantai Parbaba, Pangururan f Chaycya |
Berdiri diatas batu raksasa, hasil peninggalan gempa super-vulkanik gunung Toba, sekitar 50 ribu tahun lalu. Foto diambil di depan Eben Haezer House of Prayer, Pangururan |
Bukit dengan tampilan Hot Spring di kecamatan Pangururan. Diambil dari kawasan Eben Haezer House of Prayer f Chaycya |
Danau Toba dari Tanjung Kecil di kawasan Tuktuk Siadong f Chaycya |
PS: Perjalananku ke Toba, kuisi dalam memanfaatkan cuti tahun baru 29 Desember 2012 - 7 Januari 2013. Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di kolom Pelesiran Harian Batam Pos, edisi Minggu, 20 Januari 2013. Thanks to editor.
mantap...mantap...
ReplyDeleteTerimakasih :))
Deleteaduh keren kali chay...
ReplyDeletejadi nyesal dulu ga sering menjelajahi keindahan Toba Samosir
sekarang udah di ranto jadi ngidam2 gini
hi hi...
ReplyDeleteayuk kapan kita ke pulau...sa..... eh Vietnam jun? hahaha