Bersinggungan Dengan Maut (A Note From Paulo Coelho)
Paulo Coelho, aku mengagumi pria ini, setelah 2008 lalu, aku
diperkenalkan dengan seorang anak laki-laki pengembara yang mengalami
perubahan alkimia dalam perjalanannya dari sebuah buku THE ALCHEMIST. Satu karya yang
mengenalkanku pada Maestro Sastra kelahiran Rio, Brazil ini.
Aku mengaguminya. Tentu saja bukan mengaguminya, lantas memujinya sama seperti memuji Tuhan yang kusembah. Aku hanya kagum, lalu bergumam "Bagaimana bisa dia menggambarkan jutaan bahkan miliaran kata, lalu merangkainya menjadi suatu tulisan bermakna dalam. Tiap tulisannya selalu disisipi analogi masuk akal yang mampu menggetarkan dan menimbulkan gelora jiwa", ah ini hanya rasa penasaranku saja saat menikmati buah tulisannya, atas rekomendasi bang Hasan Aspahani (Pimpinan Umum di tempatku bekerja). Bang Hasa bilang, karya ini diangkat dari pengalaman Coelho yang ditulis di blog dengan berbagai judul sesuai peristiwa yang dialaminya sehari-hari, yang lalu dituangkan dalam buku " LIKE a FLOWING RIVER atau dalam Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Penerbit Gramedia "Seperti Sungai Yang Mengalir Buah Pikiran dan Renungan". Buku ini merupakan terjemahan asli dari karya Paulo "Ser Como O Rio Que Flui" yang dipublish pertama sekali 2006 lalu.
Dalam buku yang diisi kira-kira 93 judul ini, ada satu tulisannya yang aku suka: 'Bersinggungan Dengan Maut' di halaman 106. Disana, Paulo menceritakan kecelakaan yang dialaminya setelah pertemuannya dengan aktor Hollywood Will Smith atau menurutnya dua hari setelah ulang tahunnya pada 22 Agustus 2004 lalu.
Dia tak jadi mati (agak kasar, namun memang ini kenyataannya), hingga akhirnya dia menulis buah pemikiran dan renungannya ini.
"Kadang-kadang kita mengalami kejadian-kejadian tertentu di jalan kita,tetapi karena waktunya belum tiba, semua lewat begitu saja, tanpa menyentuh kita, walaupun cukup dekat untuk bisa kita lihat".
Membaca tulisan di baris kedua dalam paragraf terakhir tulisannya ini, aku diingatkan dengan Tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menewaskan seluruh penumpangnya hingga jasadnya berkeping-keping, ya hancur. Mengikuti berita, kecelakaan udara dengan media utama si burung besi buatan Rusia pada Rabu, 9 Mei 2012 ini, merupakan tragedi Joy Flight tahap kedua. Kedua? Ya kedua, karena sebelumnya sudah ada Joy Flight pertama yang telah diadakan pada pagi hari dan berlangsung sukses saat take off dan landing, dan bahkan presentasi di dalam pesawat kepada penumpang yang rata-rata berasal dari pengusaha dan mereka yang mengerti penerbangan.
Selalu mengikuti beritanya, menyaksikan rangkaian foto Joy flight pertama hasil bidikan Sergay Dolia, salah satu yang selamat dalam penerbangan pertama pagi hari. "Mengapa kecelakaan itu terjadi?, Bagaimana keadaan kabin saat kecelakaan terjadi?, Apakah pramugarinya sedang presentasi fasilitas dan desain pesawat?, Atau justru melayani penumpangnya dengan berbagai makan dan minuman?, lalu tiba-tiba 'BRUM BRAK, Crash, Duarrr lalu meledak, dan seluruhnya hancur begitu saja mulai dari pesawat hingga yang diangkut, jatuh ke pelukan bumi. Berkeping-keping.
Lantas apa yang ada di pikiran penumpang Joy Flight yang pertama?
*Sejenak kuhentikan tulisan ini, alam memanggilku.. -_- *
Oke, mari melanjutkannya...
Setelah kejadian, barangkali, penumpang Joy Flight pertama akan terkaget, "ah masa, kok bisa? Kan baru tadi pagi kita menaikinya dan mulus?!" lalu diikuti gerakan bersyukur (ya kalau mereka bersyukur, hehe) atas keselamatan mereka. Pernyataan Coelho dalam tulisannya 'Bersinggungan Dengan Maut' ini, menurutku sangat cocok untuk penumpang yang pertama.
Bahkan, ada juga yang ikut penerbangan pertama, lalu penerbangan kedua ikut lagi, dan saat itulah kehidupan mereka berhenti. RIP.
Atau mari kuceritakan pengalamanku, ini lebih dekat, sama seperti Coelho, aku juga hampir mati saat perayaan hari kedua tahun baru di kawasan Pelabuhan Balige, Sumatera Utara, tempat aku dilahirkan. Kawasan ini berada sekitar 100 meter dari Lapangan Sisingamangaraja XXI. Saat itu, disana ada perayaan dan aneka permainan (sejenis pasar malam yang tetap buka pada siang hari).
Waktu itu 2 Januari 1993, aku masih kelas 1 SD kalau tidak salah. Bersama keluarga besar yang pulang dari Jakarta, Medan, LA, California, kita konvoi merayakan tahun baru itu. Aku tomboy, sehingga aku lebih memilih mobil pick up yang dikendarai papaku dan berdiri di belakangnya memegang tiang mobil dibelakang kepala mobil di sebelah kiri. Aku bergoyang-goyang, lalu memiringkan kepalaku ke bagian dalam depan mobil. Bukan untuk bermain-main, tapi minta permen kopi coklat, Chocoricco (entah dimana keberadaan permen kesukaanku di masa kecil itu kini) dari abang yang duduk di depan. Tiba-tiba, jebleb, aku jatuh, beruntung tidak ke kolong mobil pick up papa. Beliau terus maju karena suasana lalin yang agak padat dan semrawut, yang juga diselipi pengendara motor.
Aku terjatuh, belum sempat berdiri, hanya menangis kala itu, tiba-tiba sudah berada di kolong mobil truck gandeng. Untung badanku kecil kala itu. Sayup kudengar teriakan papaku yang menyuruh supir truck berhenti, dan mamaku menangis menjerit sambil menggendong adikku paling kecil, Niqima yang kala itu masih berusia 2 tahun.
Aku selamat (Praise Lord) dari kematian terlindas truck. Tanda itu masih ada sampai sekarang, di jidat. Aku masih ingat, aku luka lecet dan mukaku berdarah-darah, lalu dilarikan ke rumah sakit. Sejak ke luar dari rumah sakit dan perban di jidat dilepas, saudara-saudaraku memberiku gelar luar biasa mengikis hati sampai pengen nangis rasanya: Si LOCCOT, karena jidatku berlubang bekas luka. Bahkan sampai besar pun kini, mereka kadang masih memanggilku dengan sebutan itu, tapi aku tak marah lagi.
Benar kata Coelho, 100 persen aku setuju. Kadang saat kita diperhadapkan dengan bahaya maut, kalau memang Pemilik Kuasa belum mengizinkan kita lepas dari dunia, maka malaikat maut pun akan tunduk pada dukungan kehidupan ini. Tapi kalau memang sudah tiba saatnya, tak seorang pun dapat menghalangi ajal itu.
Nilai Moral dari tulisan Coelho ini: Kematian, suatu proses berhenti dari segala kegiatan jasmani dan rohani di dunia. Tubuh kembali ke tanah dan roh kembali kepada pemilikNya. Siapa siap menghadapi tujuan akhir ini?
Terimakasih Paulo Coelho. Pria ini selalu sukses mengubah situasi dalam hati dan pikiranku dalam memberi pemahaman, esensi dan spiritual dalam menjalani hidup di alam semesta, lewat berbagai karya bukunya yang sarat akan pesan dan makna mendalam dalam menjalani kehidupan.
Inspiring moment when i get insomn at GL Room
Chya, Friday, 05182012
02.18 am
My flight from Medan to Batam, February 2012 f Chaycya |
Aku mengaguminya. Tentu saja bukan mengaguminya, lantas memujinya sama seperti memuji Tuhan yang kusembah. Aku hanya kagum, lalu bergumam "Bagaimana bisa dia menggambarkan jutaan bahkan miliaran kata, lalu merangkainya menjadi suatu tulisan bermakna dalam. Tiap tulisannya selalu disisipi analogi masuk akal yang mampu menggetarkan dan menimbulkan gelora jiwa", ah ini hanya rasa penasaranku saja saat menikmati buah tulisannya, atas rekomendasi bang Hasan Aspahani (Pimpinan Umum di tempatku bekerja). Bang Hasa bilang, karya ini diangkat dari pengalaman Coelho yang ditulis di blog dengan berbagai judul sesuai peristiwa yang dialaminya sehari-hari, yang lalu dituangkan dalam buku " LIKE a FLOWING RIVER atau dalam Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Penerbit Gramedia "Seperti Sungai Yang Mengalir Buah Pikiran dan Renungan". Buku ini merupakan terjemahan asli dari karya Paulo "Ser Como O Rio Que Flui" yang dipublish pertama sekali 2006 lalu.
Dalam buku yang diisi kira-kira 93 judul ini, ada satu tulisannya yang aku suka: 'Bersinggungan Dengan Maut' di halaman 106. Disana, Paulo menceritakan kecelakaan yang dialaminya setelah pertemuannya dengan aktor Hollywood Will Smith atau menurutnya dua hari setelah ulang tahunnya pada 22 Agustus 2004 lalu.
Dia tak jadi mati (agak kasar, namun memang ini kenyataannya), hingga akhirnya dia menulis buah pemikiran dan renungannya ini.
"Kadang-kadang kita mengalami kejadian-kejadian tertentu di jalan kita,tetapi karena waktunya belum tiba, semua lewat begitu saja, tanpa menyentuh kita, walaupun cukup dekat untuk bisa kita lihat".
Membaca tulisan di baris kedua dalam paragraf terakhir tulisannya ini, aku diingatkan dengan Tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menewaskan seluruh penumpangnya hingga jasadnya berkeping-keping, ya hancur. Mengikuti berita, kecelakaan udara dengan media utama si burung besi buatan Rusia pada Rabu, 9 Mei 2012 ini, merupakan tragedi Joy Flight tahap kedua. Kedua? Ya kedua, karena sebelumnya sudah ada Joy Flight pertama yang telah diadakan pada pagi hari dan berlangsung sukses saat take off dan landing, dan bahkan presentasi di dalam pesawat kepada penumpang yang rata-rata berasal dari pengusaha dan mereka yang mengerti penerbangan.
Selalu mengikuti beritanya, menyaksikan rangkaian foto Joy flight pertama hasil bidikan Sergay Dolia, salah satu yang selamat dalam penerbangan pertama pagi hari. "Mengapa kecelakaan itu terjadi?, Bagaimana keadaan kabin saat kecelakaan terjadi?, Apakah pramugarinya sedang presentasi fasilitas dan desain pesawat?, Atau justru melayani penumpangnya dengan berbagai makan dan minuman?, lalu tiba-tiba 'BRUM BRAK, Crash, Duarrr lalu meledak, dan seluruhnya hancur begitu saja mulai dari pesawat hingga yang diangkut, jatuh ke pelukan bumi. Berkeping-keping.
Lantas apa yang ada di pikiran penumpang Joy Flight yang pertama?
*Sejenak kuhentikan tulisan ini, alam memanggilku.. -_- *
Oke, mari melanjutkannya...
Setelah kejadian, barangkali, penumpang Joy Flight pertama akan terkaget, "ah masa, kok bisa? Kan baru tadi pagi kita menaikinya dan mulus?!" lalu diikuti gerakan bersyukur (ya kalau mereka bersyukur, hehe) atas keselamatan mereka. Pernyataan Coelho dalam tulisannya 'Bersinggungan Dengan Maut' ini, menurutku sangat cocok untuk penumpang yang pertama.
Bahkan, ada juga yang ikut penerbangan pertama, lalu penerbangan kedua ikut lagi, dan saat itulah kehidupan mereka berhenti. RIP.
Atau mari kuceritakan pengalamanku, ini lebih dekat, sama seperti Coelho, aku juga hampir mati saat perayaan hari kedua tahun baru di kawasan Pelabuhan Balige, Sumatera Utara, tempat aku dilahirkan. Kawasan ini berada sekitar 100 meter dari Lapangan Sisingamangaraja XXI. Saat itu, disana ada perayaan dan aneka permainan (sejenis pasar malam yang tetap buka pada siang hari).
Waktu itu 2 Januari 1993, aku masih kelas 1 SD kalau tidak salah. Bersama keluarga besar yang pulang dari Jakarta, Medan, LA, California, kita konvoi merayakan tahun baru itu. Aku tomboy, sehingga aku lebih memilih mobil pick up yang dikendarai papaku dan berdiri di belakangnya memegang tiang mobil dibelakang kepala mobil di sebelah kiri. Aku bergoyang-goyang, lalu memiringkan kepalaku ke bagian dalam depan mobil. Bukan untuk bermain-main, tapi minta permen kopi coklat, Chocoricco (entah dimana keberadaan permen kesukaanku di masa kecil itu kini) dari abang yang duduk di depan. Tiba-tiba, jebleb, aku jatuh, beruntung tidak ke kolong mobil pick up papa. Beliau terus maju karena suasana lalin yang agak padat dan semrawut, yang juga diselipi pengendara motor.
Aku terjatuh, belum sempat berdiri, hanya menangis kala itu, tiba-tiba sudah berada di kolong mobil truck gandeng. Untung badanku kecil kala itu. Sayup kudengar teriakan papaku yang menyuruh supir truck berhenti, dan mamaku menangis menjerit sambil menggendong adikku paling kecil, Niqima yang kala itu masih berusia 2 tahun.
Aku selamat (Praise Lord) dari kematian terlindas truck. Tanda itu masih ada sampai sekarang, di jidat. Aku masih ingat, aku luka lecet dan mukaku berdarah-darah, lalu dilarikan ke rumah sakit. Sejak ke luar dari rumah sakit dan perban di jidat dilepas, saudara-saudaraku memberiku gelar luar biasa mengikis hati sampai pengen nangis rasanya: Si LOCCOT, karena jidatku berlubang bekas luka. Bahkan sampai besar pun kini, mereka kadang masih memanggilku dengan sebutan itu, tapi aku tak marah lagi.
Benar kata Coelho, 100 persen aku setuju. Kadang saat kita diperhadapkan dengan bahaya maut, kalau memang Pemilik Kuasa belum mengizinkan kita lepas dari dunia, maka malaikat maut pun akan tunduk pada dukungan kehidupan ini. Tapi kalau memang sudah tiba saatnya, tak seorang pun dapat menghalangi ajal itu.
Nilai Moral dari tulisan Coelho ini: Kematian, suatu proses berhenti dari segala kegiatan jasmani dan rohani di dunia. Tubuh kembali ke tanah dan roh kembali kepada pemilikNya. Siapa siap menghadapi tujuan akhir ini?
Terimakasih Paulo Coelho. Pria ini selalu sukses mengubah situasi dalam hati dan pikiranku dalam memberi pemahaman, esensi dan spiritual dalam menjalani hidup di alam semesta, lewat berbagai karya bukunya yang sarat akan pesan dan makna mendalam dalam menjalani kehidupan.
Inspiring moment when i get insomn at GL Room
Chya, Friday, 05182012
02.18 am
Post a Comment