Tuesday, September 01, 2009

Melihat Dari Dekat Nasib TKI di Malaysia


Nasib TKI di Malaysia Ditampar Hingga Diperkosa Ramai-Ramai, Akhirnya Melarikan Diri
Sepertinya, Malaysia tidak akan pernah menghargai pekerja asal Indonesia yang bekerja di negaranya. Berbagai bentuk kekerasan mereka lampiaskan kepada pahlawan devisa negara berbendera Merah putih tercinta ini. Tidak terima dengan ketidak adilan, mereka memilih melarikan diri, hingga akhirnya di pulangkan ke Indonesia oleh pihak KJRI Indonesia. Bagaimana pengalaman mereka di negara yang mereka anggap sebagai "neraka" tersebut?
-------
Aisyah, 28, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Semarang melarikan diri sejak 48 hari lalu dari rumah majikannya di Batu Pahat, Malaysia karena merasa tidak dianggap sebagai manusia. "Saya sering ditampar oleh kakak sang majikan bernama Meymey, saya tampar balik lagi dia. Jangan mentang-mentang saya pembantu asal Indonesia, diperlakukan kasar layaknya binatang," ujar Aisyah sambil menopang dagu melihat langit-langit rumah penampungan dinas sosial di Sekupang sambil merenungi nasibnya yang malang kepada saya, Kamis (5/3) kemarin.

Dia mengemukakan awal keberangkatannya dari rumahnya di Anggrek III Semarang, Oktober 2008 lalu. Kala itu wanita yang baru ditinggal mati suaminya bernama Rudiaynto tersebut, tidak tahan lagi menjadi ibu rumah tangga yang membebankan hidup mereka kepada kedua orang tuanya. Sehingga dia berpikir untuk mencari kerja dan merubah nasib kearah yang lebih baik dengan jalan yang halal. "Sebelumnya suami tidak mebolehkan saya kerja, karena harus mengurus anak. Namun setelah kepergiannya, orang tua saya yang hanya seorang buruh bangunan, tidak mungkin saya bebani lagi. Akhirnya saya berpikir cari kerja dengan merantau, sementara anak-anak saya tinggal di rumah orang tua," ujar mengenang masa kelamnya dimulai.

Dia pun, dengan bantuan teman mendaftar ke perusahaan penyalur tenaga kerja di Semarang, PT Andika. Tidak lewat dari satu minggu, segala bentuk persyaratan dan kepengurusan dokumennya telah selesai diurus oleh perusahaan tersebut. "Hanya ongkos dari saya," ujarnya.

Dia pun berangkat menggunakan pesawat terbang, sesampai di bandara Kuala Lumpur, dia dijemput agen dan langsung dipekerjakan menjadi seorang pembantu rumah tangga. Dalam perjalanan agen tersebut menjanjikan gaji sebesar 550 ringgit setiap bulannya dengan menjadi pembantu rumah tangga sepasang suami istri dengan lima orang anak. Namun siapa nyana, sesampai di rumah majikannya bernama Chece, dia pun harus melayani 12 orang anggota keluarga tersebut. "Awalnya saja sudah tidak mengenakkan dan merasa dibohongi," ujar Aisyah.

Dia pun memilih diam dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga mulai dari mencuci pakaian ke 12 orang tersebut, memasak, dan lainnya bahkan diminta kerja menjalankan usaha kedai majikan tanpa dibantu. "Kalau saya melawan dan membantah sedikit saja, pasti tamparan dan hinaan hasilnya," ujar Aisyah sambil melap peluh dikeningnya.

Dia juga mengaku, selama lima bulan dia bekerja menjadi PRT di Malaysia, tidak pernah sekali pun dia menjamah apa yang menjadi hasil keringatnya. "Katanya gaji saya dipotong untuk membayar utang pembiayaan dokumen keberangkatan saya kesini oleh agen penyalur di Indonesia dan agen penerima di Malaysia. Pada hal perjanjian pemotongan hanya 50 persen dari gaji setiap bulannya selama enam bulan," ujar Aisyah.

Demikian juga, perlakukan tidak manusiawi kerap diterimanya. Kala itu dia mendapat kabar dari kampung halamannya, anak laki-laki satu-satunya bernama Attira,4, meninggal dunia karena sakit. Dia meminta izin kepada sang majikan, namun apa yang diperoleh yakni hinaan dan tamparan. "Saya sedih, anak yang kulahirkan tidak dapat kulihat saat hari terakhirnya di dunia. Malah mendapat cacian di negeri neraka itu," ujarnya menahan tangis.

Rasa sakit hatinya mencapai puncak nadir kala dia dipaksa mertua majikan menyiram bunga, pada hal saat itu dia masih mencuci pakaian seluruh anggota keluarga tersebut. "Saya mau akhirnya, disitu saya berpikiran lari. Ketika penghuni rumah lengah, saya sengaja tidak mematikan keran air supaya ketika membuka pagar rumah berlantai dua bercat putih tersebut, tidak kedengaran. Saya langsung melarikan diri tanpa membawa apa-apa. Semua barang saya tinggal di rumah itu. Intinya, dalam benak saya kala itu, aku pingin pulang melihat pusara anak saya, itu saja," ujarnya.

Dalam pelariannya, Aisyah mengaku berada di rumah warga Melayu bernama Supartiah selama satu minggu, hingga akhirnya dia pergi ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Johor Bahru. "Perjalanan yang lumayan jauh, namun tidak apa-apa demi mencari keselamatan dan ingin pulang," ujarnya.

Sementara itu, hampir sama dengan Aisyah, Siti Khadijah, 23, wanita asal Kebumen ini awalnya ingin mencari nafkah juga di Malaysia, namun apa yang diterima malah mendapat musibah yang menyedihkan.

Selama empat tahun bekerja sebagai pelayan restoran di Malaysia, sekitar Desember 2007, dia diminta sang majikan etmpatnya bekerja melayani tamu melakukan pesta minuman keras, dia dipaksa untuk ikut minum hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

"Saya sadar, saya sudah diruangan yang berbeda yang belakangan saya ketahui rumah sakit dengan kondisi lemas dan tidak berdaya. Kata dokter rumah sakit, saya dianiaya dan disuruh membuat laporan kepada kepolisian Diraja Malaysia," ujar khadijah mengenang.

Dengan ditemani pihak kepolisian Malaysia dan Konsulat Jendral (Konjen) RI di Malaysia, Siti mendapat kabar yang tidak menyenangkan bahwa dirinya telah diperkosa beramai-ramai. Melalui Close Circuit Television (CCTV) akhirnya diketahui bahwa ia diperkosa oleh 3 orang, 1 orang berkebangsaan Indonesia dan 2 orang berkebangsaan China, hingga akhirnya dia hamil, dipulangkan ke Indonesia dan melahirkan.

Namun sampai hari ini dia mengaku belum pernah mengasuh anak yang dilahirkan tersebut, karena dianggap aib oleh keluarga.

Tidak ingin berlama-lama sedih karena kehilangan anak, dia pun memutuskan kembali ke Malaysia menjadi pekerja di restoran. Namun perlakuan kasar kembali diterimanya dari sang majikan. Hingga dia akhirnya melarikan diri.

Melalui pelabuhan Internasional Batam Center, Khadijah, Aisyah bersama 26 orang temannya sesama TKI dipulangkan oleh pihak Konjen RI di Malaysia. Delapan diinapkan di rumah penampungan Dinsos Sekupang, sementara 18 orang lagi dirujuk ke Pusat Shelter Sekupang. ***

Monday, February 23, 2009

Rian Penderita Hemanium

Rian
 Kini dan Nanti Dia Tetap Optimis

AFRIYANTO,25 atau yang akrab disapa Rian ini tidak ada menunjukkan sedikit pun rasa malu terhadap penyakitnya, ketika saya menyambangi rumahnya di Perumahan Puri Malaka Blok I Nomor 4 Tiban. Dengan ramah dia berujar "Sebentar ya kak, saya cuci muka dulu".
Rian, anak ketiga dari empat bersaudara dari ibu bernama Nur Aini (50) dan ayahnya Menceng (alm). Sejak lahir, Rian sudah mengidap penyakit pembengkakan pembuluh darah yang mengakibatkan benjolan di bagian leher bawah kanannya, atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan tumor pembuluh darah atau Hemanium.

Rian lahir pada 9 Maret 1983. Sewaktu lahir, leher Rian tersebut belum ada benjolan, melainkan hanya sebatas warna biru memar membulat dibagian kanan lehernya. Setelah umur satu tahun, tanda memar tersebut membengkak menjadi sebesar kelereng. "Namun pada saat itu, Rian belum pernah mengeluhkan kesakitan, apalagi rewel," ujar Nur Aini sambil mengenang kembali masa kecil Rian.

Gumpalan tersebut pun makin besar setelah Rian berusia lima tahun. Di usia yang masih muda tersebutlah Rian pertama sekali harus mengalami kontak dengan pisau bedah operasi. Awalnya, orang tuanya hanya membawanya ke rumah sakit Pertamina di Jakarta untuk konsultasi. "Tiba-tiba dokter mengatakan, untuk memperkecil ruang gerak pertumbuhan Hemanium ini, maka Rian harus di operasi. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi. Saya mau Rian sembuh," ujar Nur Aini menahan tangis.

Setelah dioperasi, bukannya makin sembuh, penyakit Rian makin menjadi. Kali ini bukan hanya lehernya saja yang bengkak, melainkan setengah wajahnya, lidah hingga tenggorokannya pun kian hari makin membengkak.

Orang tua Rian pun sempat bingung, dan berusaha mengobati anaknya tersebut dengan menempuh cara apa pun. Jalan operasi kembali di tempuh Rian pada saat dia berusia enam tahun, dan untuk pertama kalinya menghadapi X-ray guna menghambat pertumbuhan Hemanium tersebut. "Dulu sewaktu kecil dia sempat botak, karena pengaruh sinar X," ujar Nur Aini.

Nur Aini sangat mengingat jelas berapa kali anaknya di operasi dan di sinar X. "Hingga dia umur 11 tahun, sudah sembilan kali menghadapi operasi pengangkatan benjolan di bagian kanan leher dan wajahnya," ujar Nur Aini.

Demikian juga dengan sinar X, sudah 11 tahun sampai sekarang, Rian sudah harus berurusan sebanyak 12 kali dengan penyembuhan cara laser tersebut, dengan harapan pengobatan ini berguna demi kesembuhannya.

Dengan memakai celana coklat selutut, dan baju kaus berwarna hitam, Rian duduk manis di pintu tengah menuju dapur, di rumah kontrakan tipe 36 tersebut, mendengarkan kisah masa kecilnya yang diceritakan sang ibu kepada saya.

Sementara mendengar kisah masa kecilnya yang sudah akrab dengan penyakit dan rumah sakit tersebut, Rian hanya terdiam dan sesekali memberitahukan bahwa apa yang dialaminya kini sudah menjadi bagian dari nasibnya yang tidak dapat disesali. "Mau bagaimana lagi, ya seperti ini kehendak Allah, ya seperti inilah," ujarnya menghibur diri menatap saya.

Dia pun menunjukkan lidahnya yang kini bengkak separuh dan ada tiga benjolan kecil berwarna coklat, dan tenggorokan yang di dalamnya kini bersarang gumpalan sebesar kelereng yang mengakibatkan dia susah bicara. "Saya juga, kalau makan sudah susah nelannya, harus pakai kuah baru bisa masuk. Kalau tidak bisa nyangkut dan sakit," ujarnya dengan tawa tertahan sambil menghirup nafas dalam-dalam.

Dia mengaku, kalau terlalu banyak bekerja dan mengeluarkan keringat, maka wajah sebelah kanannya yang kini membesar tersebut sering pegal. Dia tidak boleh lelah, karena bila lelah sedikit saja, dia akan demam, gumpalannya makin besar dan akan terasa pegal dan sakit.
Demikian juga sang ibu, mengatakan setiap malam dia selalu terjaga kalau tiba-tiba Rian tidak bernafas lagi, akibat gumpalan yang ada di tenggorokannya kini. "Kalau tidur, mengoroknya keras dan macam tertahan. Kadang nafasnya hilang timbul, mesti di bangunin. Cape juga setiap malam begitu, tapi bagaimana demi anak juga," ujar istri dari almarhum Menceng, seorang pensiunan Pertamina tersebut.
Dalam menjalani harinya, Rian mengaku sangat optimis dapat bertahan hidup, namun kadang kala mengalami pasang surut bila dia menghadapi permasalahan dengan teman atau saudaranya dan bila mengingat perjuangan orang tuanya menyembuhkannya. "Rasa minder bisa datang kalau teman mengejek, dan bahkan kepikiran ingin melepaskan semuanya saja. Tapi bila mengingat perjuangan orang tua dan saudara dalam menyembuhkan, saya jadi bersemangat lagi. Masih banyak ternyata orang yang perduli dengan saya," ujarnya dengan mimik serius.

Dia bersyukur sekali, semenjak kepindahannya ke Batam, tidak ada seorang pun yang pernah mengejek dia karena penyakitnya tersebut. Bahkan dia pun tidak malu bergaul dengan muda-mudi di kompleknya tinggal sekarang. "Ngapain harus malu, jalani sajalah. Saya bahkan bisa kompak dengan tetangga. Bukan hanya kalangan anak muda saja, melainkan orang tua, ibu rumah tangga dan bahkan anak-anak saya sangat dekat. Alhamdulillah mereka tidak pernah menjauh karena penyakit saya, demikian juga dengan saya," ungkapnya.

Rian yang duduk bersila ditemani kakak sulungnya bernama Iwan, 28, di ruang tamu sesekali mengambil nafas panjang tertahan karena gumpalan sebesar kelereng di tenggorokannya. Kadang dia mengelus wajah dan lehernya yang membengkak tersebut, lalu melanjutkan pembicaraan mengenai hobinya merawat bunga. "Kak, saya tidak pernah membeli bibit bunga itu. Awalnya saya minta dari tetangga, serakkan di pot dan rawat, akhirnya tumbuh subur dan banyak. Kemudian saling tukar dengan teman-teman. Itu saja," ujarnya serius dengan nada senang.

Hingga saat ini, koleksi bunga yang sudah dimiliki Rian yaitu Aglonema, Sansivera, berbagai macam jenis Puring, Asoka, dan lainnya. "Kadang merawat bunga ini seperti merawat bayi, harus ekstra perhatian bila ingin mendapatkan hasil yang bagus," ungkapnya bahagia.

Penekanan "ekstra perhatian" dari ucapan Rian tersebut terhadap bunga, demikian jugalah perhatian yang diberikan sanak saudara dan ibunya kepadanya. Bahkan dirinya juga. Dia sadar betul, akibat dari penyakitnya kini, hampir seluruh bagian lehernya membekas puluhan garis sayatan pisau bedah. Kini sayatan tersebut ditumbuhi banyak lingkaran hitam dan hijau tua yang menonjol akibat dari pecahnya pembuluh darah yang berlebihan.

Kadang dia merasakan sakit yang sangat luar biasa, menurut istilahnya hampir mati rasa karena tidak tertahankan atau ibarat penyakit sariawan yang berlebihan yang kadang mengakibatkan mentalnya down untuk bertahan hidup. Namun karena dorongan semangat dari dalam dirinya yang begitu besar untuk sukses di masa depan. Dia pun menghiraukan rasa sakit tersebut tanpa bantuan obat medis, melainkan dengan obat alternatif yakni dengan mengkompresnya memakai jahe merah.

Sampai sekarang, dia masih mempunyai niat untuk melakukan operasi dan pengobatan bagi penyakitnya guna menghambat pertumbuhan hemanium di tubuhnya tersebut. Tapi keluarganya masih terkendala biaya. "Kalau makin dibawakan, bisa rusak semua. Tapikan kita harus menghadapi hidup dengan optimis dan berserah. Saya juga mempunyai cita-cita ingin membuka usaha, ingin menikah dan berkeluarga serta membahagiakan orang tua," ujarnya.

(Ingin aku menangis mendengarkan keluhan Rian tersebut, namun aku bangga, sebagai manusia dia hidup dengan penuh rasa optimisme. Aku hanya bisa berdoa, Tuhan jadilah kehendakMU kepada Rian dan keluarganya. Karena aku yakin, di balik hujan ada pelangi, seperti itulah janji Tuhan kepada manusia). 20-21 Februari, Tidak akan kulupakan. Dan aku berjanji akan mempelajari kasus hemanium yang merusak pembuluh darah tersebut. ***

Saturday, February 21, 2009

Ketika Anak Punk Menuntut Haknya


Salah Satu Dari Anak Punk Itu Berkata: Kami Bukan Sampah Masyarakat


Delapan laki-laki yang turun dari mobil itu mengenakan baju ketat, jaket lusuh dengan berbagai stiker tempel, sepatu boot, rambut gaya mohawk, gelang tangan spike (berduri), tindik telinga dengan lubang besar, anting di lidah dan tubuh penuh tato. Tampak lusuh dan bau.
Mereka adalah anak punk, Rudi (19), Anta (18), Wanda (18), Pilo (22), Bobby (16), Sabar (19), Paul (21), dan Daki (20) terlihat pasrah ketika petugas menyuruh mereka duduk berbaris di depan gerbang tempat penampungan, sambil menunggu petugas menjemput kunci dari kantor Dinas Sosial.

”Anak punk gak selalu reseh, jangan langsung mencap sebelum kenal dekat, memang kami cuek tak pedulian tapi kami sadar juga apa yang terjadi di sekitar kami,” ujar Pilo sambil memperbaiki celananya yang hampir melorot kepada saya.

Para anak punk tersebut tertangkap razia Satpol PP di kawasan Simpang Kara dan Simpang Kabil Batam. Mereka mengaku kompak tidak melakukan perlawanan ketika petugas menggelandangnya rumah penampungan sosial di Sekupang. Diperjalan ke Sekupang, mereka mengaku mendapat perbuatan yang tidak menyenangkan dari petugas saat dibawa ke Batam Kota. ”Rambut kami dipotong semua, itu pun tak rapi mungkin mereka iri lihat gaya rambut kami yang mantap,” ujar Rudi sambil memegang rambutnya jagung gosongnya.

Melihat ketidakadilan yang diterima mereka, Anta menanyakan perihal tersebut kepada petugas. Mengapa mereka diperlakukan tidak sopan yakni ditampar dan dipotong rambut semaunya. Namun petugas hanya menjawab supaya pertanyaan tersebut disimpan dulu dan ditanyakan nanti saja kepada petugas pemberi penyuluhan dan bimbingan.

Imej anak punk saat ini, bagi sebagian besar masyarakat Batam bahkan Indonesia dianggap kotor, perusuh, bergerombol di jalan, dekat dengan kekerasan, meski tidak dapat ditampik mereka adalah kelompok yang berasal dari anti kemapanan. ”Salah banget kalau orang-orang melihat kita sebagai sampah masyarakat, mereka yang pikir gituan sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai kita. Penampilan yang kotor dan serba unik menjadi ciri khas anak punk, memang kelihatan aneh tapi kita tidak pernah ngelakuin tindakan kriminal kayak maling dan mengganggu orang,” ujar Anta dengan muka yang serius menatap mata saya.

Ada yang unik dari pengakuan anak punk tersebut. Mereka kerap melakukan forum dan rapat diskusi membahas rencana mereka ke depan termasuk warna jenis rambut apa yang akan mereka pergunakan dua bulan kedepan layaknya para pejabat merencanakan fokus apa yang akan dihearingkan atau kapan mereka melakukan korupsi berjamaah. ”Forum diskusi tersebut sudah terjadwal, dan kami akan membahas apa rencana kami kedepan demi kemajuan anak punk, seperti bagi kerja mulai ngamen di mana, pokoknya berbagi tugaslah,” jelas Anta.

Punk kerap kali dianggap sebagai komunitas bermasalah. Kedelapan anak tersebut mengakuinya, mulai dari ikut campur kala ada tawuran hingga bergerombol di suatu tempat. Tapi siapa nyana, bagi sesama anggota anak punk mempunyai rasa solidaritas luar biasa. Kalau ada yang sakit mereka akan bergotong royong mencari bantuan dengan mengamen, ada yang bertugas menjaga, dan bila waktu sudah terdesak dengan biaya yang tidak cukup, mereka akan minta bantuan Satpol PP untuk merazia mereka. Sehingga pemerintah membiayai pengobatan temannya.
“Makanya saya sulit melepaskan karakter ini dari hidup saya, sekali pun orang tua saya menyuruh saya untuk balik ke rumah dan bersekolah kembali,” ujar Anta yang mengaku tinggal di Tiban BTN ini.

Begitu tingginya rasa solidaritas mereka, sehingga bila ada anak punk yang disakiti dan diganggu orang lain diluar komunitas mereka, dengan bekerja sama pula mereka akan membantu temannya tersebut, berkelahi sekali pun.

Namun bila ada bentrok sesama anak punk, dengan kompak juga mereka mengucilkan bahkan tidak segan menampar dan menyiksa anggota yang berkelahi tersebut. Kemudian malamnya diadakan forum guna menyelesaikan masalah tersebut.

Menurut Bobby, punk lahir di jalanan di negara Eropa dan Amerika, dari orang-orang yang tertindas seperti buruh dan gelandangan yang benci dengan keadaan yang membuat hidupnya tertekan. ”Kalau kita di sini bukan karena benci keadaan, tetapi jujur proses pencarian jati diri dengan bergaul dengan komunitas yang tidak munafik seperti kebanyakan remaja lainnya yang dengan sesuka hati menyatakan genk peace.Padahal mereka sendiri terjerembab kejurang pesta seks dan narkoba. Sifat seperti itu tidak berlaku bagi kami, tapi justru kami yang dicap perusuh. Padahal itu hak kami sebagai manusia bebas juga,” ujarnya panjang lebar.

Setelah petugas datang membawa kunci, pintu pun dibuka dan dengan kompak mereka berbagi tugas mencuci kamar mandi dan menyapu ruangan tempat penampungan tersebut. ”Sepertinya malam ini kami akan tidur di sini dan dikasih makan pula,” ujar Anta senyam-senyum.

Kepala Bidang Bantuan Jaminan Sosial dan Dinas Sosial Kota Batam, Noor Arifin mengatakan, anak punk yang terjaring razia akan diberi penyuluhan dan pandangan positif. ”Kita cari akar permasalahannya mengapa mereka sampai tahan hidup di luar, terus kita pulangkan keorang tuanya,” ujarnya, kemarin.

Arifin mengakui, faktor mentalitas dan pencarian jati diri akibat kurangnya perhatian orang tua menjadi salah satu penyebab anak-anak punk di Indonesia, khususnya di Batam membuat budaya sendiri. Sehingga kini Pemko membuat pola pembinaan dengan sistem panti dengan mengembangkan bakat terpendam mereka. Adapun razia tersebut merupakan penegakan dari Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang ketertiban sosial. cya

(Tulisan Pernah Dimuat di Harian Batam Pos, Edisi 4 November 2008)